Kisah HM. Rasjidi Berdebat dengan Orientalis Prof. Joseph Schacht di MCGill Kanada

 

Peran HM. Rasjidi dalam kancah pemikiran Islam sangat besar, terutama sekali di Indonesia. Meski ia alumni Barat, namun sama sekali tidak membuatnya inferior dengan pemikiran-pemikiran Barat.

Suatu ketika, Prof. Joseph Schacht, seorang orientalis terkemuka dari Universitas McGill Kanada, tengah menyampaikan pidato di hadapan para akademisi, termasuk HM. Rasjidi pun turut hadir. Dalam pidatonya Schacht secara terbuka menyatakan bahwa hukum Islam adalah arbitrage, karena waktu itu tidak ada hukum tertulis yang dijadikan tempat mencari keadilan. Dengan kata lain, karena Nabi Muhammad saw tidak mendirikan pemerintahan tetapi hanya membentuk ummah, maka segala perselisihan diselesaikan menurut arbitrage (kekuasaan untuk menyelesaikan suatu perkara menurut kebijaksanaan). Karena itulah, kata-kata yang dipakai untuk mengetengahkan suatu sengketa adalah kata hakama yang berarti “penengah” atau wasit, dan bukan qadha yang berarti “memutuskan”. Hal itu sama saja dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah menyusun suatu konsep kenegaraan.

Mendengar pidato Schacht itu, kontan saja membuat H.M Rasjidi merasa gerah. Rasjidi pun segera menyampaikan sanggahannya di hadapan publik secara seketika. Ia menyatakan bahwa Prof. Schacht keliru memahami bahasa Arab. Kata hakama dan qadha di dalam Al-Quran merupakan sinonim, dua kata yang mempunyai arti sama.

Sang Profesor kemudian menyarankan H.M Rasjidi untuk membaca buku Histoire de’l organisation jiduciare en pays de l’islam (Sejarah Organsisasi Kehakiman di Negara-negara Islam) karangan Emille Teyan. Secara tak langsung, Profesor itu menganggap Rasjidi belum memahami persoalan secara tuntas. “Tuan belum mendalami persoalan tersebut”, kata Schacht. Diskusi kemudian selesai sampai di situ.

Namun, seorang Profesor yang menyaksikan perdebatan itu kemudian menyatakan bahwa sang penyanggah ialah “ortodoks”. Ucapan itu membuat jajaran guru besar, termasuk Profesor Cantwell Smith memutuskan untuk meliburkan perkuliahan selama satu hari, diganti dengan perdebatan tentang teori Schacht tersebut.

Associate Professor H.M Rasjidi (pada hari perkuliahan diliburkan itu) ditentukan untuk masuk ke dalam ruangan, menghadap Cantwell dan beberapa guru besar. Hal itu lebih nampak sebagai penghakiman dibanding sebuah debat intelektual.

Dalam ceramahnya, Rasjidi menjelaskan bahwa tidak mungkin Nabi Muhammad SAW setelah menerima wahyu akan menggunakan sistem hakam atau penengah. Arbitrage hanya dilakukan orang jika tidak ditemukan teksnya di dalam Al-Quran. Sedangkan maksud dari Schacht dan penulis buku Histoire de’l organisation jiduciare en pays de l’islam adalah bahwa sang Nabi SAW tidak menghendaki pembentukan sistem hukum. Pembentuk sistem hukum itu ialah para khalifah setelah wafatnya Nabi SAW.

Kini Rasjidi bukan hanya menyanggah Schacht tetapi juga Emille Teyan. Sementara pendapat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengajarkan sistem hukum ialah pendapat umum para orientalis. Dengan kata lain, Rasjidi menentang para guru dan profesor orientalis di sarangnya. Kulit sawo matangnya tidak tunduk pada kulit putih.

Melihat sanggahan itu para guru besar berkata, “Bahasa Arab memang sukar!” Ada kata-kata yang sama tetapi berlainan artinya, bahkan ada satu kata yang punya dua arti, yang keduanya saling bertentangan. Keadaan menjadi serba tegang. Pendapat penyanggah cukup kuat, sementara Profesor Schacht pun punya otoritas yang disegani. Dalam keadaan yang semacam itu, seorang guru besar berkebangsaan Jepang, Profesor Toshohiko Izutsu, tegas berujar di depan guru-guru besar : Yang benar adalah Prof. berkulit sawo matang!

Peran HM. Rasjidi dalam kancah pemikiran Islam sangat besar, terutama sekali di Indonesia. Meski ia alumni Barat, namun sama sekali tidak membuatnya inferior dengan pemikiran-pemikiran Barat. Selain kasus perdebatan dengan Prof. Schacht di atas, Rasjidi juga kerap melakukan kritik kepada para intelektual lulusan barat lainnya, seperti Harun Nasution dan Nurcholis Madjid.

Pada tahun 1973, Harun Nasution menulis sebuah buku berjudul ‘Islam Ditinjau dari Segala Aspeknya’. Buku kontroversial tersebut menjadi buku pegangan bagi mahasiswa di perguruan tinggi Islam di Indonesia. Sebagai seorang intelektual, Rasjidi melihat bahwa buku tersebut terdapat banyak kekeliruan di dalamnya. Ia pun mengirim surat pribadi kepada Menteri Agama agar buku tersebut ditinjau kembali keberadaanya. Namun usai dua tahun menunggu, sepertinya surat itu tak kunjung direspon oleh sang Menteri. Lalu Rasjidi memutuskan untuk menerbitkan bukunya yang berjudul: Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.

Tahun 1972, tatkala Nurcholish Masjid memasarkan sekularisasi, Rasjidi juga segera merespon dengan menulis buku berjudul Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisme. Sebagai guru besar di Universitas Indonesia, Rasjidi tak segan-segan menasehati Nurcholish yang ketika itu masih sarjana S-1. Setelah memberikan kritiknya, Rasjidi menulis: “… jika Saudara sudah pernah membaca uraian semacam ini, dan Saudara tetap dalam alam sekularisasi dan desakralisasi Saudara, maka saya hanya dapat berkata: “Saya telah melakukan kewajiban saya, watawasau bil-haqqi watawasau bissabri.” [] (SR)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*