Refleksi Reuni 212 : Memformat Gerakan Untuk Jalan Dakwah

STIDNATSIR.AC.ID — Jutaan tumpah ruah dikomandani ulama rabbaniyah, panggung direka layaknya konser artis ibu kota, panggilan iman merasuk sukma, jarak tempuh tak menjadi kendala hingga harta benda digadai demi dana untuk tiba. Itulah Gerakan 212, gerakan terbesar sepanjang sejarah di Republik tercinta. Setahun sudah kenangan manis itu terjaga dan kerinduan terus membara laksana cinta yang menggelora. Sudah saatnya ummat kembali terjaga jangan terlena dengan kemenangan sementara karena ujian terbesar akan segera tiba.

Gerakan demonstrasi terbesar dalam sejarah Republik Indonesia pada tanggal 2 Desember 2016 (Aksi 212) lalu menjadi _milestone_ bagi masa depan ummat Islam di Indonesia. Gerakan 212 tersebut secara tidak langsung menjadi unjuk kekuatan ummat Islam yang selama ini kerapkali dicurigai sebagai sumber benih benih kaum radikal dan intoleran. Ummat Islam yang semenjak awal kemerdekaan dipayungi oleh kekuatan partai legendaris seperti Masyumi mengalami fase perjalanan yang cukup dinamis dalam konstelasi peta kekuatan politik di Indonesia. Kekuatan ummat Islam pernah utuh menjadi satu kekuatan dibawah besutan pendiri Nahdhatul Ulama (NU) KH. Hasyim Ashari dengan menggagas MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) pada tahun 1937 kemudian setelah bermetamorfosis menjadi partai Masyumi, NU mendirikan partai sendiri ketika mengikuti Pemilu 1955. Kekuatan ummat Islam kembali bersatu dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melalui “paksaan” rezim Orde Baru pada pemilu 1973. Semenjak era reformasi, kekuatan Ummat Islam akhirnya terfragmentasi menjadi partai partai berbasis ormas dan kelompok Islam. Tidak ada yang pernah menduga dan menganalisa sebelumnya bahwa perjuangan serial aksi para ulama dan aktivis Islam yang tergabung dalam ormas Islam dan kelompok ad hoc mendapatkan momentumnya pada Gerakan 212 tahun lalu. Sudah seharusnya eksponen Gerakan 212 ini memikirkan format gerakan apa yang harus dilakukan setelah reuni 212 ini agar tidak berbelok arah.

Setidaknya ada tiga tipe gerakan sosial yang punya konotasi hampir mirip dengan Gerakan 212. Pertama; gerakan _“People Power”_ yaitu kekuatan untuk menekan pemangku kebijakan yang didemonstrasikan melalui hadirnya massa yang cukup besar dengan cara non-kekerasan, rujukan utama dari _People Power_ adalah gerakan untuk menumbangkan Marcos di Philipina pada tahun 1986 melalui gerakan demonstrasi massif selama empat hari hingga Marcos tumbang. Ciri utama gerakan _People Power_ adalah berulangnya demonstrasi hingga tujuan yang diinginkan tercapai dan tuntas. _People Power_ ternyata tidak selalu mulus dan berhasil seperti di Philipina atau di Indonesia tahun 1998, ada beberapa gerakan _People Power_ yang menemui jalan buntu alias gagal total yaitu di China tahun 1989 yang terkenal dengan peristiwa Tiananmen, di Burma pada tahun 1988/2007 dan di Iran tahun 2009. Faktor kekompakan di tubuh rejim otoriter dan kekejamanan terhadap para demonstran menggagalkan ketiga aksi tersebut. (Carter : 2012)

Kedua; gerakan “Ekstra Parlementer” yaitu sebuah gerakan politik diluar struktur politik yang ada untuk mendukung atau menolak sebuah kebijakan yang dianggap menguntungkan atau merugikan publik. Gerakan ekstra parlementer dapat berupa aksi demonstrasi yang membawa isu isu yang akan diperjuangkan dapat pula berbentuk gerakan lobby atau gerakan kekerasan seperti aksi terorisme. Gerakan ekstra parlementer dapat pula dirujuk dari yang paling ringan seperti gerakan _Tea Party_ di Amerika yang merupakan wadah lobby lobby di luar parlemen yang mempengaruhi kebijakan Partai Republik atau hingga yang paling ekstrem seperti gerakan _Irish Republican Army_ (IRA) yang menentang integrasi Irlandia ke dalam negara Inggris Raya ( _Great Britain_) melalui jalan kekerasan. _Tea Party_ terbukti banyak menuai hasil untuk mempengaruhi kebijakan di dalam internal tubuh Partai Republik di Amerika tetapi gerakan IRA justru malah sulit untuk mencapai hasil karena karakter penyampaian aspirasi melalui kekerasan yang berkala. Ciri utama gerakan ekstra parlementer adalah tujuan untuk mempengaruhi kebijakan tertentu secara konstruktif tanpa perlu merubah rejim yang ada. Gerakan ini membalikkan situasi dimana wadah parlemen yang formal tidak mampu lagi menyuarakan aspirasi publik sehingga harus dilakukan oleh gerakan ekstra parlementer sehingga parlemen yang formal “dikendalikan” oleh gerakan di luar parlemen.

Ketiga; gerakan _“Mass Gathering”_ yaitu perkumpulan massa yang mempunyai tujuan pendek tertentu seperti reuni, tabligh akbar/ceramah agama, konser musik, gerak jalan bersama, perkumpulan hobby dll. _Mass Gathering_ semacam ini tidak punya tujuan jangka panjang yang bersifat sistematis jikapun ada efek jangka panjangnya, maka efek tersebut hanyalah diluar kendali dari gerakan itu tersebut. _Mass Gathering_ semacam ini tentulah mudah kita jumpai secara rutin baik yang bersifat sosial maupun komersial.

Berkaca dari tiga tipe gerakan sosial di atas, Gerakan 212 tahun lalu nampaknya puncak _People Power_ ummat Islam di Indonesia ditandai dengan menangnya Gubernur Muslim di DKI Jakarta apalagi ditambah dengan sentimen anti Ahok yang menista agama Islam. Mengulang terjadi _People Power_yang sama nampaknya terlalu bermimpi, karena situasi dan kondisi yang mungkin sudah tidak sama dan kesolidan gerakan yang tidak sekuat pada aksi tahun lalu. _People Power_ hanya merubah permukaan tapi tidak merubah akar masalah. Ummat Islam baru memenangkan pertempuran tapi belum memenangkan peperangan.

Di lain pihak, Gerakan 212 ini dapat juga dijadikan alat _bargaining power_ oleh para eksponennya untuk melakukan lobby dalam rangka memasukkan kepentingan Ummat Islam dalam kebijakan rejim yang sedang berkuasa maka kekuatan tersebut menjadi kekuatan ekstra parlementer. Tetapi cara ekstra parlementer ini memerlukan kelihaian lobby dan penjagaan amanah oleh para eksponennya agar tidak terjebak menjadi sandera, karena boleh jadi pihak tertentu akan menerapkan taktik _“Stick and Carrot”._ Dalam bahasa awamnya, dikasih makan enak hingga gemuk kemudian disembelih.

Yang justru perlu dihindari adalah Gerakan 212 ini hanyalah ritual _“Mass Gathering”_ semata selayaknya konser musik atau gerak jalan bersama. Tujuan yang dicapai hanya “kangen kangenan” tetapi setelah pulang ke rumah, masing masing kembali mengerjakan rutinitas seakan pertemuan tadi hanya sekedar hiburan dengan diselingi _Selfie_ pemuas narsisme pribadi. Akhirnya ritual ini diulang kembali setiap tahunnya sehingga layaknya peringatan _May Day_ hari buruh tanggal 1 Mei.

Kalau kita kembali melihat sirah Nabi Muhammad S.A.W., kemenangan beliau adalah bukan sebuah tujuan tetapi hasil yang Allah berikan akibat niat yang suci dan proses ikhtiar yang nabi lakukan sepanjang masa kenabiannya. Sejarah membuktikan bagaimana faktor keihkhlasan niat ini penentu kemenangan dalam perjuangan. Perang Badr di zaman Rasulullah yang hanya bermodalkan pasukan dan perlengkapan minimal bisa meluluhlantakkan kekuatan paripurna kafir Mekkah, tetapi sebaliknya, pada perang Uhud (QS Ali Imran : 152) dan Perang Hunain (QS At-Taubah :25) dengan strategi yang jenius maupun pasukan yang massif tidak mampu memenangkan peperangan secara mulus karena beloknya niat.

Selain keikhlasan niat diatas, untuk mencapai tujuan yang lebih besar, Rasulullah mencari masa yang leluasa dan tenang untuk menyebarkan dakwah Islamiyah sehingga timbul spirit perjuangan dan pengorbanan ummat dalam membela Agama Allah SWT. Masa tersebut kita kenal dengan perjanjian Hudaibiyah yang menjadikan dakwah Islam tersebar dan ummat terkonsolidasi dengan baik. Berhasilnya acara Reuni 212 yang diadakan di Monas hari ini menunjukkan bahwa terjadi pergeseran sikap kompromistis (walau mungkin terpaksa) dari pihak tertentu untuk tidak meredam gerakan reuni 212 ini, mungkin saja pihak tertentu tersebut merasa perlu memberi masa tenggang untuk Gerakan 212 karena kekhawatiran tekanan yang terus menerus bisa berakibat berbaliknya simpati publik kepada Gerakan 212 ini. Pihak tertentu tersebut melihat tidak berkurangnya dukungan terhadap gerakan ini walaupun sudah “dipreteli” beberapa eksponennya sehingga strategi pun dirubah dari yang tadinya dijauhi kemudian sekarang dirangkul.

Jika perubahan strategi dari pihak tertentu tersebut ini terjadi, maka mungkin secara agak bebas kita dapat analogikan momen ini seperti masa Perjanjian Hudaibiyah di masa Rasulullah, dimana ummat Islam mempunyai masa tenggang untuk melakukan konsolidasi gerakan setelah selama satu tahun sebelumnya terjadi serial kriminalisasi kepada para ulama dan aktivis Islam. Jika kita berkaca pada masa perjanjian Hudaibiyah tersebut, maka untuk mengisi masa tenggang yang sangat sempit ini, spirit persatuan ummat dari acara reuni 212 tadi harus segera dikonversikan menjadi gerakan penyadaran ummat melalui gerakan dakwah yang terstruktur, sistematis dan massif (“Da’wah TSM”) tanpa sekat sekat ormas dan hizbiyah. Karena yang bisa merubah ummat secara fundamental adalah dakwah yang berbentuk gerakan bukan dakwah yang hanya sekedar kewajiban. (Syuhada Bahri : 2010).

Tentunya muatan yang didakwahkan juga bisa berbagi diantara kelompok dan ormas Islam. Sudah mafhum kita rasakan bahwa diantara kelompok atau ormas Islam mempunyai metode dan karakter dakwah yang khas misalnya Salafi yang fokus pada Da’wah Tauhid, HTI yang khas pada Da’wah Politik, NU yang khas pada Da’wah Kultural, Muhammadiyah yang khas da’wah perkotaan kaum intelektual, Hidayatullah yang khas da’wah daerah pedalaman, Jama’ah Tabligh yang khas Da’wah Keliling atau Dewan Da’wah yang khas pada antisipasi aliran sesat, pemurtadan dan perang pemikiran. Dengan pembagian tugas tenaga da’i dan materi da’wah tersebut maka ummat di bawah akan segera sadar dan terbuka cakrawalanya tentang luasnya ilmu dalam Islam sehingga tidak membentuk ummat yang jumud dan fanatisme buta. Jika “Da’wah TSM” ini segera dilakukan dalam masa tenggang yang singkat ini. Maka periode “Fathu Makkah” dapat kita harapkan segera datang sehingga pertolongan Allah pun turun kepada ummat Islam di Indonesia.Wallahua’alam Bishowab. []

 

Oleh : Taufik Hidayat, MA

(Penulis adalah Dosen STID Mohammad Natsir, Wasekum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dan Sekretaris Lembaga Da’wah Parmusi)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*