Nasehat untuk Da’i yang Meninggalkan Medan Da’wah

“Maka kalau Sekiranya Dia tidak Termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. Niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. As Shaffat 143-144)

Dalam Islam, lari dari medan perang hukumnya haram, bahkan termasuk dosa besar. Lari dari medan perang sama saja dengan lari dari tanggungjawab yang terpikul di pundak.

Nabi menyebutkan tentang As Sab’u al Mubiqat (tujuh hal yang membinasakan) dan salah satunya adalah lari dari medan perang. Berikut sabda Nabi itu;

Artinya: “Dari sahabat Abu Hurairah ra, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda; “Kamu harus menjauhi tujuh perkara yag akan mengakibatkan kerusakan (dosa-dosa besar)”.

Para sahabat bertanya kepada beliau : “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tujuh perkara itu?”. Rasulullah menjawab : “….lari dari ajang perperangan….” (HR. Bukhari No: 2766 dan Muslim No: 272)

Dalam al Qur’an, hal diatas juga ditegaskan kembali pada surah Al Anfal ayat 15-16. Pada ayat tersebut, mundur dari medan perang hanya boleh dilakukan dalam rangka siasat perang atau dalam rangka bergabung dengan pasukan lain untuk kembali melakukan penyerangan.

Jika tidak, maka berisap-siaplah dengan murka Allah (ghadhab minallah) dan nereka Jahannam (ma’wahum jahannam) sebagai tempat kembali.

Jika dianalisa, lari dari medan perang biasanya disebabkan oleh banyak faktor. Menurut hemat kami, faktor terbesar yang paling menonjol dari sekian banyak faktor itu adalah ketertarikan kepada dunia.

Ketertarikan inilah yang melumpuhkan semangat juang seseorang. Ketertarikan ini pulalah yang menebas habis keberanian, serta memperbesar rasa putus asa terhadap pertolongan Allah Ta’ala.

Ketertarikan terhadap dunia adalah magnet yang hanya mampu dilawan jika kita mampu memunculkan sebuah kutub yang sama-sama memiliki daya tarik, jauh melebihi daya tarik dunia.

Tapi apakah ada daya tarik yang lebih indah daripada daya tarik dunia ? Ah, rasa-rasanya sulit untuk kita temukan. Siapa yang tidak tertarik dengan harta melimpah.  Kemewahan dan fasilitas hidup yang serba ada.

Siapa yang tidak tertarik dengan wanita. Siapa pula yang tidak rindu dengan orang tua, keluarga dan anak-anak tercinta. Jika ada manusia yang tidak tertarik, tentu ada hal yang tidak beres dengan akal dan fitrahnya sebagai manusia.

Jika dipandang secara kasat mata, mungkin benar tidak ada yang dapat menyaingi indahnya dunia beserta isinya. Secara kasat mata mungkin juga hal itu sesuatu yang mustahil.

Anggapan itu karena kasat mata memang tidak akan mampu menjangkau hakikat sesuatu. Kasat mata bahkan banyak memberikan kesimpulan-kesimpulan yang menipu.

Belajar dari Kisah Nabi Yunus
Dalam konteks perjuangan Islam, lari dari medan da’wah sama halnya lari dari medan Jihad, karena berda’wah termasuk berjihad dalam makna yang lebih luas. Bahkan dalam kondisi tertentu, berda’wah lebih baik dilakukan (afdhal) sebelum menegakkan jihad.

Al Qur’an telah mengabadikan kisah seorang Nabi yang diperintahkan untuk berda’wah, namun ia meninggalkan kaumnya karena da’wah tak diterima dengan baik.

Bedanya, Nabi ini meninggalkan da’wah bukan karena kecenderungan duniawi, tapi lebih karena ledakan amarah yang melampaui kesabarannya.

Bedanya lagi, Nabi ini meninggalkan da’wah namun kemudian bertaubat kepada Allah setelah ditegur dengan teguran yang belum pernah terjadi pada Nabi-nabi sebelum dan sesudahnya.

Dialah Nabi Yunus ‘alaihissalam. Al Qur’an menyebut namanya dengan Dzu An Nuun. Salah satu hamba Allah yang terpilih menjadi Rasul kepada kaumnya Ninawa, sebuah tempat di daerah di Moshul.

Beliau diutus kepada kaum penyembah berhala untuk tempo waktu yang lama. Namun Tak ada yang menyambut seruannya. Seluruh kaum menghinakan bahkan mendustakan risalah yang dibawa.

Maka marahlah Yunus alaihissalam sembari meninggalkan kaumnya tetap dalam kejahiliayahan.

Tanda-tanda kekuasaan Allah terhadap kaum Ninawa pun mulai tampak. Langit tiba-tiba menghitam setelah tiga hari ditinggalkan oleh Nabi Yunus. Angin tiba-tiba bertiup kencang dan hampir memporak-porandakan apa-apa yang ada.

Maka tersadarkanlah penduduk Ninawa terhadap sikap mereka kepada Nabi Yunus. Merekapun berbondong-bondong keluar dari negeri itu seraya memohon ampunan kepada Allah, Rabb semesta alam.

Dan tentu saja, Zat Yang Maha pengampun itu mengampuni mereka yang bertaubat. Seperti dalam firman-Nya;

Artinya: “Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (QS. Yunus: 97)

Disaat yang sama, Nabi Yunus telah pergi meninggalkan kaumnya dengan keadaan marah (mughaadhiban). Saat itu, ia tidak mengira sedikitpun bahwa Allah memiliki suatu rencana besar untuk dirinya.

Nabi Yunus melangkah hingga ia berjumpa dengan rombongan kapal. Mengenai perginya sang nabiyallah dalam keadaan marah disebutkan melalui firman Allah berikut;

Artinya: “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam Keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya)… “ (QS. Al Anbiya: 87)

Rombongan kapal itu membawa sang Nabi menyebrangi lautan. Dan rencana Allah pun segera datang. Tiba-tiba lautan bergelombang tanpa ada yang menyangka hal itu bakal terjadi. Cuaca yang tadinya putih-biru cerah tiba-tiba mendadak hitam.

Seluruh awak kapal panik dan bermusyawarah untuk mengurangi muatan kapal agar tak tenggelam. Undianpun dilakukan untuk memilih siapa nama manusia yang harus rela dibuang kelautan.

Tanpa disangka-sangka, “Nabi Yunus” terpilih dengan berat hati. Awak kapal mengenal Nabi Yunus sebagai orang yang shaleh dan baik sejak perjalanan kapal dilakukan.

Dari raut wajahnya mereka mengenal kebaikan dan kelebihan akhlak pada diri Yunus. Timbullah rasa iba dari seluruh awak kapal untuk memilih Yunus, dan undianpun dimulai kembali.

Namun takdir Allah tidak akan berubah sejak Dia memutuskannya. Takdir Allah tetap memilih sang Nabi untuk dibuang kelautan. Bahkan hingga tiga kali undian dilakukan, nama “Yunus” tetap muncul dalam undian. Gambaran mengenai hal itu Allah sebutkan dalam As Shaffat 143-148;

Artinya:
“(139). Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (140). (ingatlah) ketika ia lari, ke kapal yang penuh muatan, (141). kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. (QS. As Shaffat 139-141)

Maka Sang Rasul harus menjalani teguran berat dari Allah. Iapun harus dilempar ke dalam lautan. Taklama berselang, seekor ikan besar menyantap tubunya mentah-mentah.

Dalam kondisi seperti itu, Nabi Yunus tersadar akan kesalahan yang ia perbuat. Ia pun segera mengingat Allah dan mengucapkan kalimat kepasrahan dan mengakui kezaliman yang ia perbuat. Allah berfirman;

Artinya: …”Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap[967]: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al Anbiya: 87)

Kalimat “Laa ilaahailla Anta subhaanaka innii kuntu minazhalimiin” merupakan kalimat puncak kepasrahan dan rasa ingin kembali kepada Allah karena sadar akan kesalahan (kezhaliman) yang diperbuat oleh diri sendiri.

Dalam riwayat sahabat Saad bin Abi Waqqas ra Rasulullah menyebutkan bahwa kalimat warisan Nabi Yunus ini merupakan kalimat agung yang barangsiapa berdo’a dengan kalimat itu, ia akan mendapatkan apa yang dimunajatkan.

Setelah puncak munajat menembus batas-batas langit, maka Allah berkenan mengeluarkan Nabi Yunus dari kegelapan di dalam perut ikan dan kesengsaraan yang menimpa dirinya.

Paus itupun memuntahkan jasad Yunus di sebuah daratan, sementara ia dalam keadaan lemah. Setelah itu, Nabi Yunus mendapatkan keberkahan demi keberkahan.

Allah telah menyediakan makanan yang cukup untuk mengembalikan kekuatannya yang lemah, dan Dia kembalikan Yunus kepada kaumnya yang pada waktu itu berjumlah kurang lebih sertaus ribuan orang.

Nasehat untuk Da’i yang Meninggalkan Medan Da’wah
Hikmah terbesar yang harus kita renungkan dalam peristiwa ini adalah; JANGAN lari dari medan da’wah !. Yah, jangan coba-coba lari dari medan da’wah jika tidak ingin tersantap oleh paus dalam bentuk yang lain.

Tugas da’wah adalah tugas setiap insan yang beriman sesuai dengan kadar ilmu yang diberikan kepadanya. Tugas da’wah tetap harus dipegang dipundak kaum muslimin atau Allah akan membuat pelakunya menjadi terhina baik di dunia maupun di akhirat.

Pembaca yang budiman, apa jadinya jika nabiyallah Yunus tak bergeming dari sikapnya di dalam perut ikan paus ?. Apa yang akan menimpanya bila ia tetap tidak bertaubat dari sikapnya yang lari dari medan da’wah ?. Allah berfirman;

Artinya: (143). Maka kalau Sekiranya Dia tidak Termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. (144). Niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit. (QS. As Shaffat 143-144)

Lihatlah, Allah tidak main-main kepada mereka yang mencoba meninggalkan urusan da’wah ini. Allah akan membiarkan Nabi Yunus berada dalam ikat paus hingga hari berbangkit tiba.

Bagaimana bisa ? sementara ikan dan manusia tak dapat bertahan selama ribuan tahun ? Tentu bagi Allah tidak ada yang mustahil. Kisah Ashabul Kahfi yang terkurung di dalam gua selama 309 tahun adalah buktinya.

Tentu saja untuk menjaga seekor ikan dan sebuah jasad manusia adalah sebuah pekerjaan yang teramat sangat mudah bagi Allah.

Untuk itulah, kesabaran dalam berda’wah adalah kesabaran yang tidak boleh ada habis-habisnya. Kesabaran dalam berda’wah harus dinikmati dengan tetap terus memohon petolongan Allah agar tetap istiqamah di jalan da’wah.

Perjalanan da’wah yang panjang dan penuh dengan tantangan membuat para da’i menabur nama harum bagi penduduk langit dan bumi. Para juru da’wah yang benar-benar berjalan di dalam kebenaran akan menjadi orang-orang istimewa kelak pada hari kiamat. Merekalah pewaris para Nabi dan merekalah yang akan menempati surga firadaus kelak.

Jerat rayu duniawi adalah umpan paling mematikan untuk para da’i yang telah sekian lama memupuk diri dengan keikhlasan. Tawaran duniawi sanggup menggeserkan da’wah kepada sesuatu yang “seolah-olah mirip” dengan da’wah.

Seseorang yang tertipu dengan duniawi, ia akan merasa seolah-olah dirinya telah berda’wah padahal apa yang dilakukannya bukan untuk da’wah tapi untuk memenuhi kenikmatan hidupnya.

Dalam kondisi seperti ini, ia akan dengan mudah mengatakan; “Pekerjaan saya ini dalam rangka da’wah. Usaha saya ini dalam rangka da’wah. Bisnis ini untuk da’wah”. Padahal sejatinya, ia sedang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan kebutuhan da’wahnya. Wallahu A’lam Bishawab. []

Penulis: Imam Taufik Alkhothob (Dosen STID Mohammad Natsir)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*