Tragedi Politik Natsir Yang Konstitusionalis

Oleh: Taufik Abdullah*

Hari ini kita akan mengadakan refleksi tentang Pak Natsir, Mohammad Natsir kalau nama aslinya. Karena dia sudah dapat Dr. Honoris Causa, di luar negeri biasa disebut Dr. Mohammad Natsir »walaupun DR yang akan diberikan oleh Universiti di Malaysia tidak jadi karena dihalangi berangkat ke sana.

Kalau dilihat Capita Selecta jilid satu, kita bisa menyadari bahwa dia sudah mulai menulis sejak umur 18 tahun dan sudah kelihatan juga betapa cemerlang pemikirannya. Dalam “Surat -surat Islam dari Endeh” yang ditulis oleh Bung Karno kepada Hassan Bandung (kemudian Hasan Bangil) pemimpin Persatuan Islam, dia mengatakan mubalig-rnubalig Persatuan Islam sekarang sudah baik-baik. Itu ada mubalig yang bagus dari Bandung yang pintar sekali yaitu Mohammad Natsir.

Bung Karno sudah menulis itu. Nah mana tahu kita, beberapa tahun kemudian ketika Bung Karno sudah dipindahkan ke Bengkulu terjadi perdebatan hebat antara Soekarno dan Natsir, gara-gara Soekarno menulis di Panji Islam mengatakan bahwa ketika ada benda anaknya dijilat oleh anjing, anaknya akan mencuci benda yang dijilat anjing itu tujuh kali. salah satunya dengan tanah. Soekarno mengatakan cuci saja pakai  karbol karena waktu Nabi belum ada karbol. “Telah itu anak saya tidur dengan nyenyak,” kata Bung Karno. Ini sebenarnya awal perdebatan Islam dengan negara.

Pak Natsir menanggapi tulisan Bung Karno itu dengan mengatakan, “Alangkah baiknya kalau Bung Karno juga menyuruh anaknya sesuai dengan ajaran Islam ditambah pakai karbol, anaknya pasti akan tambah nyenyak lagi tidurnya.” Perdebatan berkembang, tapi kemudian pada waktu revolusi malah mereka sangat akrab, akrab sekali.

Saya pernah mewawancarai Bung Hatta. Saya mengharapkan suatu analisa politik yang mendalam dari Bung Hatta mengenai dasar Bung Karno mengangkat Pak Natsir menjadi Perdana Menteri sesudah Republik Indonesia Serikat (RIS) kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebab pikiran saya dipenuhi oleh perdebatan Soekarno-Natsir pada tahun 1930-an. Eh sebagai Wakil Presiden, Bung Hatta tidak menjawab dengan analisa politik yang mendalam, ”Ah Natsir itu kan anak kesayangan Soekarno,” kata Bung Hatta. Kaget saya waktu dia katakan begitu. Pada kesempatan lain saya ketemu Pak Natsir. “Pak, kata Bung Hatta Bapak ini kesayangan Bung Kamo.” Pak Natsir tersenyum. ”Ya… ya, kami dulu akrab. Bahkan pidato Bung Karno sering saya yang tulis.” Dari sumber lain saya punya data, Bung karno tidak mau pidato sebelum ada tanda tangan dari menteri penerangan.

Kalau kita ikuti lagi riwayat Pak Natsir kenapa dia menjadi “pemberontak” atau kemudian di waktu Orde Baru termasuk orang yang disingkirkan, selalu masalahnya adalah pemahaman tentang kontitusi.

Pemilihan umum tahun 1955 yang sampai sekarang dianggap sebagai pemilihan umum yang paling berhasil, relatif jauh lebih bersih apalagi dibanding dengan pemilu pada waktu Orde Baru, dengan partisipasi rakyat yang sangat hebat. Pemilu 1955 menghasilkan konstalasi kepartaian yang canggih. Ada 15 wilayah daerah pemilihan. Masjumi tampil sebagai pemenang di dua belas daerah pemilihan dan di setiap daerah pemilihan, Masjumi mendapatkan kursi. Tetapi berdasarkan jumlah pemilih, Masjumi hanya berada di nomor dua walaupun di parlemen jumlah kursinya sama dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Nomor tiga Nahdlatul Ulama (NU), nomor empat Partai Komunis Indonesia (PKI). Ternyata ini suatu kemalangan untuk nasib tiga partai utama yang lain karena pendukung utamanya adalah di pulau Jawa,

Masalah terpenting pada waktu itu adalah keresahan daerah. Satu-satunya partai yang bisa membela kepentingan daerah hanya Masjumi. Sementara itu, tentara baik di Sulawesi ataupun di Sumatera sudah gelisah. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sudah tidak sanggup lagi memimpin Kabinet. Dia menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno. Bung Karno lalu mengangkat seorang warga negara yang kebetulan bernama Soekarno yang pekerjaannya adalah Presiden Republik Indonesia menjadi formatur kabinet. Itu tidak sesuai menurut Undang-undang Dasar Sementara 1950. Itu dianggap sebagai pelanggaran pertama Soekarno terhadap UUD.

Bung Karno memperkenalkan konsepsinya, yaitu konsepsi Demokrasi Terpimpin. Bung Karno membentuk Dewan Nasional yang bersifat semi-Parlemen. Ini dianggap melanggar lagi. Maka praktis elite politik Jakarta terbagi dua pro dan antikonsepsi Presiden. Dimulailah tragedi di dalam politik Pak Natsir yang kontitusionalis. Seperti juga Bung Hatta, Pak Natsir memprotes kebijakan dan konsepsi Presiden Soekarno yang dianggap melanggar konstitusi, tetapi kritik Natsir ditanggapi dengan teror-teror. Kita mengalami tragedi yang terberat dalam sejarah.

Tragedi kedua terjadi waktu Orde Baru. Pada tahun 1980, Presiden Soeharto dua kali berpidato. Dalam dua pidatonya itu Soeharto membayangkan seakan-akan dia adalah personifikasi dari Pancasila. Maka beberapa tokoh menyampaikan Pernyataan Keperihatinan ke DPR. Pak Natsir ditunjuk oleh para penandatangan Pernyataan Keperihatinan untuk menjadi jurubicara. Pak Harto marah. Para penandatangan Pernyataan Keperihatinan disingkirkan. Inilah tragedi untuk perjuangan kita.

Sekarang, bagaimana kita menanggapi berbagai peristiwa sejarah secara dewasa. Itulah reileksinya. Pada seratus tahun inilah kita mengingat lagi, tidak sibuk memikirkan segala kejelekan orang. []

*Pengantar Moderator Pada Acara Refleksi Seabad Mohammad Natsir

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*