Tiga Periode Natsir

Oleh: Burhan D. Magenda

Dari sudut politik, saya melihat Pak Natsir ini ada tiga priode: Natsir Muda, Dewasa dan Sepuh. Kalau kita lihat Natsir Muda pada tahun 1920 atau 1930-an, sudah mulai menulis hingga terlibat polemik dengan Bung Karno juga saya kira mengenai dasar negara. Kemudian pada awal-awal revolusi Pak Natsir turut mendirikan Masjumi.

Saya kira Masjumi ini salah satu partai politik yang unik. Basisnya di Jawa tapi lebih kuat di luar Jawa dan merupakan federasi dari beberapa organisasi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Umat Islam (PUI) di Jawa Barat, Al-Wahliyah di Sumatera Utara, dan Nahdlatul Wathan di Lombok. Yang menulis thesis tentang Masjumi di Cornell itu Prof. Deliar Noer yang baru saja meninggal dunia.

Nahdlatul Wathan di Lombok itu didirikan oleh “anak buah” Pak Natsir, Tuan Guru H. Zainuddin. Baru saja cucunya, Tuan Guru Zainul Majdi, Tuan Guru Bajang terpilih sebagai gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB). Calon dari Partai Golkar, Lalu Srinata, gubernur yang sekarang, kalah oleh Tuan Guru Bajang yang baru berumur 36 tahun. Di Jawa Barat, Ketua Umum PUI, Ahmad Heriawan, juga terpilih menjadi gubernur, mengalahkan calon dari Partai Golkar Danny Setiawan, gubernur yang sedang menjabat dan calon dari PDI Perjuangan, tokoh sekaliber Jenderal (Purn) Agum Gumelar.

Memang Masjumi itu kuat sehingga bersama dengan PNI, keduanya berhak disebut partai nasional yang mempunyai basis di mana-mana, Jawa maupun di luar Jawa. Sedangkan NU dan PKI itu hanya mempunyai basis di Jawa. Baru setelah tahun 1960-an NU mempunyai basis di luar Jawa. PKI pun sampai dibubarkan pada tahun 1966, tidak begitu banyak basisnya di luar Jawa.

Sekarang yang mempunyai basis nasional hanya Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan batasan-batasan juga mempunyai basis di luar Jawa dan bisa disebut bersifat nasional.

Sejak Masjumi dideklarasikan pada 7 November 1945, terutama setelah peristiwa Madiun tahun 1948, Bung Kamo dengan Bung Hatta dan Pak Natsir itu boleh disebut sebagai tiga serangkai, sampai lahirnya Mosi Intergral Natsir April 1950. Jadi Pak Natsir itu memang pencetus Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pak Natsir memang nasionalis sejati. Misalnya gubernur Sumatera Tengah (yang meliputi Sumatera Barat, Jambi, dan Riau) pada tahun 1950an, itu dari Jawa bernama Ruslan Muljohardjo dari Masjumi. Dengan restu Pak Natsir dia bisa diterima oleh orang-orang di Sumatera Tengah.

Ada tiga perbedaan pandangan antara Pak Natsir dengan Bung Karno yang berkembang antara 1951 sampai 1958. Pertama masalah Irian Barat (sekarang Papua) yang tidak selesai –sebagai warisan dari Konferensi Meja Bundar (KMB). Bung Karno berada di garis keras sedang Pak Natsir di garis moderat walaupun pada tahun 1957 akhirnya bersatu ketika menghadapi Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kedua mengenai sistem presidensial dan sistem parlementer. Pak Natsir dan Masjumi mendukung sistem presidensial dengan memberi peran kepada partai di Parlemen, sedangkan Bung Karno sudah mulai dengan ide demokrasi terpimpin. Sebenarnya ide Bung Karno berasal dari kalangan aristokrat Jawa yang menganggap rakyat masih bodoh dan perlu dipimpin, karena itu demokrasi yang harus dikembangkan adalah demokrasi with leadership.

Bung Karno muncul dengan ide itu sejak Dekrit 5 Juli 1959. St‘jdk 1959 sampai 1966 dengan Demokrasi Terpimpinnya, Bung’ Karno menjadi otoriter yang sejak 1957 sudah mengumumkan mimpinya untuk membubarkan partai politik, sedangkan pak Natsir dari awal sudah demokratis, tidak menyetujui otoriterianisme dengan alasan apa pun.

Pada masa inilah Bung Karno makin dekat dengan tokoh-tokoh nonpartai seperti Adam Malik, B.M. Diah, M. Hanafi, Sukarni dan banyak tokoh yang semula dari Murba. Inti masalah yang menganggu pikiran Bung Karno ialah dalam demokrasi parlementer susah membentuk koalisi.

Jadi, masalah pokok yang kita hadapi sekarang juga sama: bagaimana dalam sistem presidensial dengan parlemen yang kuat terbentuk koalisi yang kuat. Ini saya kira warisan dari demokrasi parlementer tahun 1950-an. Pak Natsir sendiri sebenarnya sejak sesudah Pemilu 1955 sudah mendukung suatu koalisi yang kuat antara PNI dan Masjumi. Di masa Kabinet Ali Sastroamidjojo sesungguhnya sudah terbentuk koalisi besar PNI, Masjumi, dan NU.

Perbedaan yang lain saya kira mengenai otoriter dan demokrasi. Jadi Pak Natsir sepanjang hidupnya memegang teguh prinsip demokrasi. Mengapa Pak Natsir bergabung dengan Petisi 50 di masa Orde Baru, bisa dilihat dari keteguhan Pak Natsir memegang prinsip demokrasi.

Yang paling krusial adalah bergabungnya Pak Natsir dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Mengapa beliau pindah dari Jakarta ke Padang pada akhir 1957 saya kira yang penting pada waktu itu adalah peristiwa percobaan pembunuhan Bung Karno di Perguruan Cikini, 30 Nopember 1957. Bung Kamo demikian marahnya sehingga Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) untuk menyelesaikan masalah daerah dibatalkan.

Di antara yang terlibat Peristiwa Cikini ada anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPH), maka Masjumi pun ikut dituduh berada di balik Peristiwa Cikini. Pak Natsir dan tokoh-tokoh Masjumi mau dilibatkan padahal beliau-beliau itu tidak tahu sama sekali. Tetapi beliau terlanjur diteror dan diintimidasi. Pak Sjafruddin Prawiranegara juga diintimidasi oleh kalangan komunis, sehingga Pak Natsir dan Pak Sjafruddin tidak merasa aman di Jakarta pindah ke Sumatera.

Sebenarnya Pak Natsir dan Pak Sjafruddin itu cukup mempertahankan NKRI dalam Proklamasi PRRI. Pak Natsir dan Pak Sjafruddin tidak mau pusat diultimaltum, tapi pada 5 Februari 1958 kelompok militer Simbolon dan Ahmad Husein mengultimatum pusat. Sayap militer juga yang minta-minta bantuan asing.

Pak Natsir dan Pak Sjafruddin boleh dikata lebih pasif, sebab sayap militer ini yang dominan. Dalam bukunya, Kahin meneliti tentang itu. Saya kira ini menunjukkan, Pak Natsir itu boleh dikatakan jadi korban. Karena sesungguhnya Pak Natsir tidak setuju dengan kekerasan. Beliau percaya pada cara-cara demokratis dan damai.

Sebenarnya dalam PRRI dan Permesta itu ada tuntutan otonomi daerah. Tuntutan otonomi daerah itu baru terwujud di era reformasi. Pada masa Presiden B]. Habibie lahir Undang-undang tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan. Perlu waktu 4O tahun sesudah PRRI ‘untuk melahirkan undang-undang otonomi daerah. Kalau undangundang tersebut lebih dulu lahir, mungkin bisa dicegah lahirnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sesudah Orde Baru, usaha merehabilitasi Masjumi gagal, hanya pembentukan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang disetujui oleh Pak Harto dan pimpinan ABRI. ABRI itu memang lembaga yang kalau sudah hitam dilihat hitam terus kalau putih ya putih. Padahal dalam politik itu ada abu-abunya. Saya kira perlu perubahan berpikir di kalangan tentara supaya tidak gampang memberi stigma. Politik itu berbeda dengan perang.

Karena pandangan hitam-putih itulah tokoh Masjumi seperti Pak Roem yang oleh Muktamar Parmusi di Malang pada 1968 dipilih menjadi Ketua Umum Parmusi, tidak memperoleh clearance dari pemerintah, sehingga kepemimpinan Parmusi diserahkan kembali ke Djarnawi Hadikusumo sebelum akhirnya melalui rekayasa kudeta, oleh J. Nero dan Imran kadir, jatuh ke tangan HMS. Mintaredja.

Pak Natsir tampaknya legowo saja, sebab pada tahun 1967 beliau bersama tokoh-tokoh Masjumi mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia. Dengan mendirikan Dewan Dakwah, sebenarnya Pak Natsir sudah kembali ke khittah. Sejak Pak Roem dilarang menjadi Ketua Umum Parmusi, para aktivis Masjumi sudah dibebaskan untuk menyalurkan aktivitas politiknya. Ada yang tetap di Parmusi, ada yang bergabung di partai-partai Islam yang lain, bahkan banyak juga yang masuk Golkar seperti Pak Ismael Hasan, dan lainlain.

Walaupun musyawarah antarumat beragama pada tahun 1968 gagal, tapi hubungan pribadi Pak Natsir dengan AM. Tambunan dan TB. Simatupang tetap terjaga. Saya kira inilah politik dakwah Pak Natsir. Politik dakwah Pak Natsir yang teduh, damai dan toleran tidak pernah melahirkan gerakan-gerakan “fudamental yang militan” sehingga tidak ada anak-anak muda Islam yang ”radikal” seperti terjadi di Poso dan lain-lain yang akhirnya diselesaikan oleh Pak Jusuf Kalla.

Gerakan-gerakan radikal itu terjadi pada akhir 1990_an setelah tokoh-tokoh Masjumi uzur dan wafat. Saya kira suatu perkembangan bahwa memang masyarakat Islam kehilangan tokoh yang berwibawa yang bisa mengakomodir kelompokkelompok militan dan bergerak ke arah yang militan pada akhir 1990 an. Ini tantangan buat Pak Tarmizi Taher yang memimpin lembaga moderat Muslim.

Pak Natsir sepuh menyebarkan keteduhan sambil tetap memperjuangkan demokrasi secara damai. Masalah-masalah Islam banyak berkembang atas inisiatif beliau, misalnya khatib-khatib di seluruh masjid yang saya tahu di Jakarta dikoordinir oleh Dewan Dakwah sehingga kemudian ada pendekatan-pedekatan yang cukup baik dengan khatib-khatib itu. []

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*