MUSLIM SEKULER, PANTASKAH?

Oleh: Fatih Madini
(Mahasiswa STID Mohammad Natsir)

Dalam sejarah Peradaban Barat, sebelum menjadi sekuler, ia merupakan peradaban yang sangat berpegang teguh pada agama Kristen. Sejak Abad ke-4 M (392 M, Medieval Times), Kristen menjadi agama resmi di Eropa lewat pengeluaran Edict of Theodosius dari Imperium Romawi, Paus sudah mampu menduduki posisi di atas raja, dan institusi Gereja telah mengampanyekan (tanpa adanya keraguan dan hambatan) sebagai wakil Tuhan di dunia.

Dikenallah kemudian istilah “teokrasi” yang meletakkan pusat kekuasaan pada agama, para pemukanya, dan Gereja selaku wakil Tuhan. Filsafat Yunani Kuno juga dimodifikasi supaya sesuai dengan teologi Kristen.

Namun memasuki Abad 14-15 M (Reneissance/Rebirth), Masyarakat Barat justru berbondong-bondong keluar dari cengkeraman dan hegemoni Kristen dan para pemuka agama melalui wakil Tuhannya (Gereja) yang bertindak secara kejam dan semena-mena. Sejak saat itu mereka merasa lahir kembali sebagai manusia yang sesungguhnya. Manusia yang tidak perlu agama dan Tuhan dalam kehidupannya, cukup berpangku tangan pada akal dan indranya semata.

Agama Kristen terpinggirkan, Filsafat Yunani Kuno digemakan kembali bahkan dikembangkan. Giliran Teologi Kristen yang dimodifikasi supaya sesuai dengan peradaban Barat yang sekuler. Para filosof dan intelektual pun berkuasa penuh menggantikan para pemuka agama.

Betapa muaknya mereka dengan segala hal yang berbau agama dan Tuhan, tergambar dari beragam pernyataan para pemikir Barat ketika itu. Mulai dari pernyataan Jean Paul Sartre (Filosof asal Perancis): “Even if God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom,” sampai hinaan keras Friedrich Nietzsche bahwa Tuhan sudah mati.

Lebih ekstrem lagi, ketika dikatakan bahwa sekularisme merupakan ajaran Bible. Sebagaimana ucap Harvey Cox: “Karena sudah menjadi satu keharusan, maka kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab sekularisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bible. Maka, tugas kaum Kristen adalah menyokong dan memelihara sekularisasi.”

Tidak heran kalau Muhammad Asad dalam Islam At The Crossroads-nya menyatakan bahwa irreligious adalah esensi dari peradaban Barat itu sendiri. Lantas apa alasan mereka beralih dari yang awalnya “sangat taat Kristen” menjadi “sangat sekuler”, “sangat benci agama dan Tuhan”? Menurut Dr. Adian Husaini dalam buku fenomenalnya, Wajah Peradaban Barat, ada tiga alasannya:

Pertama, trauma dengan INQUISISI. Yaitu sebuah institusi yang bertujuan menghukum siapa pun yang bertolak belakang dengan doktrin resmi Gereja (sebagai wakil Tuhan) dari segi pemikiran dan tindakannya. Kaum yang membangkang disebut “heretics”. Bentuk hukumannya meliputi pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, sampai yang bisa mengancam alat kelamin. Tidak jarang pula hukuman ini diberlakukan sampai korbannya kehilangan nyawa.

Salah satu kasus paling terkenal adalah kasus Galileo-Galilei (karena mencetuskan teori heliosentris), meskipun tidak sampai hukuman mati. Sedangkan Giordano Bruno (kawan Galileo-Galilei) harus terkena hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup. Saking mengerikannya, Karen Armstrong sampai mengatakan: “Sebagian besar kita tentu setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi.” Dan karena adanya institusi kejam inilah, sains dan teknologi di Eropa tidak berkembang selama kurang lebih 10 abad lamanya.

Kedua, adanya problem teks Bible. Teksnya tidak otentik. Dari segi penggunaan kata atau bahkan kalimat di satu ayat. Bahkan sampai sekarang, baik Bible tersebut antara versi Indonesia dan berbagai versi lainnya, ataupun sesama versi Indonesia tetapi berbeda tahun terbitnya. Di situ bisa terlihat dengan sangat jelas perbedaan penggunaan kalimat antara satu versi Bible, dengan versi-versi lainnya.

Terkait Kitab Perjanjian Lama, Richard Elliot Friedman dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, “Adalah sebuah fakta yang mengherankan bahwa kita tak pernah tahu secara pasti siapa yang telah membuat buku itu yang telah menjalankan peran penting dalam peradaban kita.” Sedangkan untuk Kitab Perjanjian Baru, dikatakan, “ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya.” Dan sama-sama kita ketahui, bahasa Yunani adalah bahasa asal Kitab Perjanjian Baru.

Ketiga, adanya problem teologi Kristen. Saking problematiknya, Dr. C. Groenen Ofm mengatakan, “Seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem.” Problematikanya meliputi dua aspek:

Problem pertama soal konsep Trinitas. Menurut kelompok Arius (lawan dari kelompok pencetus konsep Trinitas, Atanasius), “Yesus bukan Tuhan yang tunggal, esa, transenden, dan tak tercapai oleh manusia. Yesus adalah ‘Firman Allah’ yang secara metafor boleh disebut ‘Anak Allah’ bukanlah Tuhan, tapi makhluk, ciptaan, dan tidak kekal abadi.”

Kelompok Kristen yang lain seperti Cathary juga berpendapat: “Karena daging adalah jahat, Kristus tidak mungkin menjelma dalam tubuh manusia. Karena itu, Kristus tidaklah disalib dan dibangkitkan. Yesus adalah malaikat”. Thomas Aquinas pun ikut mengkritik. “Bahwa Tuhan adalah tiga dan satu hanya bisa dipahami dengan keyakinan, dan tidaklah mungkin hal ini bisa dibuktikan secara demonstratif dengan akal,” ujarnya.

Problem kedua, soal ketuhanan Yesus. John Dominic Crossan sempat mempertanyakan “Siapa yang menyalib Yesus? Benarkah Yesus mati untuk menebus dosa-dosa manusia? Apakah keimanan kita sia-sia jika tidak ada kebangkitan tubuh Yesus?” Ia bahkan mengatakan, “Cerita tentang Yesus, seperti tertera dalam Bible, disusun sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk cerita seputar penyaliban dan kebangkitan Yesus.”

Arthur Drews & William Benjamin Smith ikut mempertanyakan bahwa “Sosok Yesus betul-betul ada atau sekadar tokoh fiktif dan simbolik?” Marthin Luther pun dengan beraninya menyatakan kalau “Sebelum mati, Yesus berzina sebanyak tiga kali: dengan seorang wanita di sumur, Maria Magdalena, dan Wanita pezina.” (Seputar 3 faktor di atas, selengkapnya lihat Wajah Peradaban Barat karya Dr. Adian Husaini).

Jika mau ditambahkan satu faktor lagi mengapa masyarakat Barat begitu muak dengan agama dan Tuhan ialah ketika mereka melihat kenyataan yang pahit mengenai kelamnya kehidupan para pemuka agama Kristen, khususnya para Paus. Hal ini banyak diungkapkan oleh Brenda Ralph Lewis dalam bukunya, Dark History of the Popes.

Dalam pembukaan bab satu, ia berkata, “Lebih dari seribu tahun lalu, ketidakstabilan politik tersebar luas di Roma. Pada waktu itu, citra kepausan adalah semuanya dari terasing hingga aneh dan sampai sungguh-sungguh menggemparkan. Semua jenis kelakuan buruk melekat pada namanya. Korupsi, simoni, nepotisme, dan gaya hidup hanya merupakan sebagian saja dan bukan pula yang terburuk.”

Paus Benediktus IX misalnya. Ia digambarkan sebagai, “salah satu paus abad ke-11 yang paling hebat berskandal, yang dideskripsikan sebagai seorang yang keji, curang, buruk dan digambarkan sebagai ‘iblis dari Neraka yang menyamar sebagai pendeta.”

Ada juga Sergius III yang Lewis katakan sebagai, “sumber dari segala kebencian yang tak terhingga di antara para pelacur dan budak dari setiap kejahatan dan merupakan pria yang paling keji. Kehidupan pribadi maupun kehidupan publik sebagai paus telah dikatakan sebagai sebuah prosesi panjang dari skandal dan dekadensi yang meliputi pembunuhan salah satu atau kemungkinan dua orang paus.”

Menurutnya, merekalah di antara para paus yang hidup di periode “Pornokrasi Kepausan” atau “Kekuasaan Para Pelacur” pada awal abad ke-10. Para paus di era tersebut seperti boneka yang berada dalam genggaman para pelacur. Hal ini digambarkan dengan jelas oleh sejarawan Lombardia, Uskup Liutprand dari Cremona, dalam bukunya, Antapodosis, khususnya tentang sejarah kepausan dari tahun 886 sampai 950 Masehi:

“Mereka berburu dengan menunggang kuda yang berhiaskan emas, mengadakan pesta-pesta dengan berdansa bersama para gadis ketika perburuan usai dan beristirahat dengan para pelacur (mereka) di atas ranjang-ranjang berselubung kain sutera dan sulaman-sulaman emas di atasnya. Semua uskup Roma telah menikah dan istri-istri mereka membuat pakaian-pakaian sutera dari jubah-jubah suci”

Maka bukan hal aneh kalau melihat masyarakat Barat memilih sekuler hingga hari ini. Bahkan dalam benak kita seakan berkata “wajar saja mereka benci agama bahkan berani mengolok-ngolok Tuhan.” Bukannya mau mewajarkan dan membenarkan sekularisme. Mau bagaimanapun, paham itu tetap salah dan sesat. Tapi begitulah yang sejarah yang harus mereka alami sehingga mengalami trauma yang begitu mendalam.

Anehnya, masih ada saja orang Islam yang ikut-ikutan sekuler. Pertanyaannya, apakah sejarah yang orang Islam alami sama dengan yang orang Kristen Eropa alami? Bukan hanya tidak sama, tampaknya sejarah kita terlalu agung dan indah untuk dibandingkan dengan sejarah mereka. Tentu tidak sempurna. Tapi setidaknya segala keagungan yang terjadi dalam sejarah Peradaban Islam mendominasi. Persentasenya terlalu tinggi, dalam berbagai aspek.

Melalaui Sirah Nabi, Sejarah Shahabiyyah, Umayyah, Abbasiyyah, Turki Utsmani, sampai Islam di Nusantara kita sadar betapa indahnya peradaban Islam berkembang dan berjaya oleh manusia-manusia yang justru selalu “membawa” agama ke semua lini kehidupan. Lebih-lebih ketika sadar bahwa memang begitulah yang Allah perintahkan.

Jadi, tidak pantas rasanya ada orang yang mengaku Islam, tapi sekuler. Seakan mengkhianati syahadatnya sendiri. Dan terlihat tidak mengkaji sejarahnya sendiri dengan benar. Kalau Peradaban Barat “maju” dengan membuang agamanya, maka Peradaban Islam maju dengan mengikutsertakan agamanya.

Argumen bahwa sains dan teknologi hanya bisa berkembang kalau menjadi sekuler sudah lama terpatahkan dengan kemunculan para filosof dan saintis Muslim di era Abbasiyyah. Bahkan bisa dibilang, berkat Islamlah ilmu pengetahuan berkembang pesat. Berkat Islamlah, adab dan ilmu betul-betul menjadi pondasi kuat setiap generasi untuk membangkitkan peradabannya. Sejarah sudah membuktikan. Tak elok kalau terus-menerus diromantisasi. Cukup dibuktikan.

Fatih Madini (Mahasiswa STID Mohammad Natsir)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*