Pemimpin Harus Diteladani

Oleh: M. Jusuf Kalla

(Wakil Presiden Republik Indonesia)

Natsir adalah tokoh penting menjelang dan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Ketokohannya dalam perjuangan, pemerintahan, dan kemasyarakatan cukuplah monumental. Penampilan sosoknya menjadi lebih lengkap setelah ditambah dengan kesederhanaannya. Beberapa kali disaksikan orang, bajunya ditambal.

Sebagai tokoh, M. Natsir tingkah lakunya arif dengan segala kecendekiawanannya. Pemahamannya mengenai agama dan nasionalisme men-jadikan M. Natsir adalah sosok yang selalu diingat sebagai tonggak sekitar waktu kemerdekaan. Itulah yang menjadi pelajaran buat kita dan menjadi suatu idola bagi pendukung dan juga tentu masyarakat kita yang mengenangnya.

Memang zaman sudah berubah. Kesederhanaan kurang tampil pada zaman sekarang. Namun, kesederhanaan M. Natsir masih sangat layak menjadi suri tauladan, sebab kesederhanaannya tidak berdiri sendiri melainkan dilengkapi dengan pikiran yang jauh ke depan dan ketundukannya pada ajaran agama Islam.

Watak, pemikiran-pemikiran, dan langkah-langkah M. Natsir sudah cukup kita kenal. Pemikiran-pemikirannya sudah banyak kita baca, contohnya dalam kumpulan tulisan yang sudah dibukukan, yaitu Capita Selecta.

Memang banyak di antara kita yang ingin mencontoh M. Natsir, tetapi sulitlah untuk bisa seperti M. Natsir. Contohnya, walaupun Masjumi sudah dibubarkan, tetapi belakangan partai politik dengan nama dan tanda gambar Masjumi banyak sekali. Akan tetapi, ternyata partai-partai politik tersebut tidak bisa besar karena tidak ada M. Natsir-nya. Memang ada Hamdan Zoelva (Ketua Partai Bulan Bintang -ed), tetapi masih susah juga menampilkan kembali sosok M. Natsir.

Ada juga tokoh yang disebut-sebut sebagai “Natsir muda,” tetapi masih sulit untuk menyaingi “M. Natsir tua.” Pemikirannya barangkali bisa mendekati M. Natsir namun tentu langkah-langkah politik tidak bisa hanya sekadar membaca kemudian meniru karena karakter itu datang dari dalam. Itu barangkali yang perlu kita kenang dari M. Natsir.

M. Natsir berpikiran sangat demokratis, apalagi pada zaman pemerintahan parlementer. Pada waktu pemerintahan parlementer, pemerintahan cepat sekali jatuh dan berganti. M. Natsir hanya menjadi perdana menteri selama 7 bulan, tetapi telah menjalankan tugasnya dengan baik. Sulit membayangkan kabinet hanya bertahan 7 bulan atau setahun, terus-menerus serah terima jabatan.

Karena M. Natsir orang yang demokratis, sulit membayangkan kenapa beliau tiba-tiba masuk ke Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang saat itu dikatakan sebagai pemberontakan. Andai saja saat itu sudah ada Mahkamah Konstitusi, mungkin tidak akan ada PRRI.

Jika tidak ada PRRI, M. Natsir juga tidak perlu masuk hutan. Masalahnya, waktu itu Soekarno melanggar, dan tidak ada yang bisa mengatakan kalau dia melanggar. Namun demikian itu juga adalah bagian daripada sejarah yang tentunya menjadi pelajaran untuk kita semuanya.

Setelah itu M. Natsir lebih dikenal di luar negeri daripada di dalam negeri. Biasanya banyak orang menghubungi Pak Natsir untuk mendapatkan rekomendasi belajar di Timur Tengah, karena nama Pak Natsir cukup disegani di sana. Suatu hari saya dan kakak ipar ke Mekkah.

Sebelumnya kami menghadap Pak Natsir, bertanya segala hal tentang Timur Tengah. Salah satu pertanyaan kami adalah apa bedanya Timur Tengah dengan Indonesia? Menurutnya, dalam hal agama kita barangkali sama baiknya atau mungkin kita lebih baik. Perbedaannya mereka banyak uang kita kurang uang.

Tak pelak, M. Natsir adalah pemimpin bangsa pada zamannya dan juga panutan untuk kita semua. Peringatan 100 tahun ini menjadi pelajaran, menjadi suatu hal yang mungkin mengembalikan roh Pak Natsir sebagai seorang pemimpin yang tetap perlu kita kenang.

Pemimpin itu harus menjadi teladan, harus menjadi contoh yang demokratis. Kita bisa berbeda ideologi, kita bisa berbeda pandangan tetapi secara pribadi tidak, kekeluargaan tetap baik. Saya kira hal itu agak jarang kita temukan pada zaman sekarang.

Sekarang negara kita ini sudah mempunyai enam presiden, dan di antara enam presiden itu tidak ada yang saling bicara. Soekarno tidak bicara dengan Soeharto. Soeharto tidak bicara dengan Habibie. Habibie tidak bicara dengan Gus Dur. Gus Dur tidak bicara dengan Ibu Mega. Ibu Mega tidak bicara dengan SBY.

Mudah-mudahan dengan belajar dari M. Natsir, kita bisa mengubah keadaan, bahwa pemimpin boleh berbeda pandangan tetapi tidak untuk saling melupakan. Jangan mengubah perbedaan pandangan menjadi perbedaan pribadi.

Dari M. Natsir kita belajar bagaimana memimpin bangsa ini dengan tulus. Dan dengan caranya, pemikiran-pemikiran M. Natsir menjadi abadi.

Bagaimana mempersatukan bangsa, salah satunya dengan Mosi Integral. Apa yang kurang dari Pak Natsir kita jadikan catatan supaya tidak terulang lagi. Akan tetapi, sebagai pribadi dan pemimpin, menarik sekali untuk menjadikan M. Natsir sebagai teladan bagi kita semua. []

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*