Buya Hamka: Mengapa Umat Islam Tak Kunjung Berhasil?

Buya Hamka, dalam bukunya berjudul ‘Dari Hati Ke Hati’, mengungkapkan mengapa umat Islam di Indonesia tak kunjung berhasil hingga kini. Beliau mengurai ada dua kubu umat Islam yang ekstrim dan saling berseberangan, sehingga mengakibatkan sulitnya umat Islam meraih kejayaannya di negeri ini.

Menurutnya, kubu pertama adalah umat Islam yang dipengaruhi oleh Barat. Barat berupaya merubah pandangan hidup umat Islam melalui jalur pendidikan. Karena, Barat sudah paham bahwa umat Islam sulit dijinakkan jika dihadapi dengan kekerasan. Hasilnya pun berdampak sangat panjang, bahkan hingga kini.

Buya Hamka mengatakan Ahli-ahli kolonial memeras pikiran bagaimana menyusun sistem pendidikan yang baru itu. Prof. Snouck Hougronye pernah memberikan advis, supaya semangat Islam itu kendor dan lemah, hendaklah diimbangi pendidikannya dengan mengemukakan kemegahan nenek moyang sebelum Islam masuk ke negeri ini. Hendaklah kobarkan semangat nasionalisme, tetapi orientasi berpikirnya haruslah diisi dengan Hollanschdenken, yaitu berpikir secara orang Belanda berpikir.

Sejak dari tangga pendidikan yang pertama yakni sekolah dasar, kata Hamka, telah ditanamkan dasar netral agama. Pendeknya asal seorang anak telah masuk sekolah hendaklah didinginkan rasa agamanya. Apabila mereka telah menduduki pendidikan lebih tinggi, hendaklah diajarkan juga agama Islam secara “ilmiah”; tetapi ilmiah itu harus dituntun oleh sarjana Barat sendiri yang bernama kaum orientalis, yang beragama Kristen atau Yahudi, memandang Islam dari luar.

“Dalam didikan itu secara berangsur-angsur dan halus mereka dipisahkan dari agamanya. Meskipun masih ada yang mengaku Islam hanya untuk kawin dan mati saja, namun cara mereka berpikir tidak lagi dalam Islamic way of life.” Kata Buya Hamka.

Pandangan Buya Hamka ternyata masih relevan dengan kondisi umat saat ini. Apalagi sarjana-sarjana alumnus Barat ekstrim semakin bermunculan bak jamur di musim hujan. Kehadiran mereka pun tidak memberikan sumbangsih kemajuan umat apapun, malah semakin memperkeruh masalah umat dari hari ke hari.

Pada tahap selanjutnya, menurut Hamka, orang-orang Islam model ini akan memandang Islam dengan sinis, penuh cemooh. Sehingga berangsurlah berlaku apa yang disarankan oleh Prof. Snouck Hourgronye, “Bikinlah mereka (orang Islam) jadi Belanda Timur, sebagaimana kita jadi Belanda di Barat.”

Kubu kedua, kata Hamka, adalah umat Islam yang memegang teguh ideologi dan ghirah Islamnya, namun sangat antipati terhadap hal-hal yang berbau Barat. Mereka lebih suka mendirikan pondok, belajar pengetahuan Islam yang tinggi di Makkah, lalu pulang. Sampai di kampung mendidik anak dalam lingkungan Islam, isolasi dan memisahkan diri. Mereka memandang pendidikan Barat dengan sinis dan negatif. Mereka tidak dapat menyisihkan lagi mana Barat yang bermanfaat dan mana yang hanya gejala buruk.

Pada era perjuangan kemerdekaan, umat Islam yang berideologis berjihad di barisan terdepan, tidak sedikit pula yang gugur syahid. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, tentu saja mereka tidak sanggup mengatur administrasi Negara, dan yang sanggup mengaturnya tentu saja yang telah belajar dari Barat.

Misalnya, di tengah menghebatnya revolusi, tenaga Teungku Daud Beureuh, sangat diperlukan di Aceh; dan setelah revolusi selesai beliau dicampakkan, malah pernah digeledah rumahnya dan dihinakan, sehingga menyebabkan beliau memberontak pada pemerintah. Setelah revolusi penjajah tidak ada lagi, kedaulatan telah diakui, bertambah santerlah suara bahwa kaum agama itu fanatik, kaum agama itu tidak bisa memegang pemerintahan. Tiap kabinet naik, tiap timbul krisis baru.

Timbullah dua front yang sama kuat dalam majelis konstituante hasil pemilihan umum tahun 1955, pihak-pihak yang berlatar belakang kepada dua aliran pikiran ini. Dan gagalnya konstituante adalah hal yang sudah logis. Yang ditanam oleh Belanda atau akibat dari penjajahan telah terbayang pada masa itu. Jurang yang dalam, memisahkan di antara dua pikiran itu tidaklah dapat didamaikan.

Di bagian akhir tulisannya, Hamka menilai bahwa para pemimpin Islam memang kuat semangat, kuat cita-cita, tetapi mereka tidak ada daya, kecuali jika mereka belajar pula susunan pemerintahan dan modernisasi cara Barat. Dan orang yang dari kecil mendapat didikan Barat, tidaklah sama perasaan mereka terhadap agama, dengan orang yang mendapat didikan dan suasana agama sejak kecil.

Wejangan Buya Hamka agar umat Islam maju, “Kita memerlukan agama sebagai dasar kekuatan kita. Kita juga memerlukan ilmu yang dari Barat untuk mengatur Negara kita.”

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*