Dari Pembendaharaan Lama: Dudukkan Niat, Resapi Isi Hati Umat

Saya memahamkan, banyak sedikitnya, para da’i tentu sudah merasakan asam garamnya berdakwah. Apa peranan dakwah di dalam masyarakat, dan apa yang kita alami sebagai pribadi maupun sebagai kelompok du’at.

Ada senangnya. Ada susahnya. Ada juga rusuhnya. Ada kadang-kadang kita bertanya, apakah hasil pekerjaan kita sebagai petugas dakwah? Karena tidak lekas tampak hasilnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kadang-kadang sampai kepada kita.

Kalau ada pertanyaan dan perasaan semacam itu, maka kita harus menyadari bahwa kita hidup di dunia ini hanya dalam waktu yang singkat.

Singkat sekali!

Sedangkan risalah yang kita bawa, berjalan lebih lama dari umur manusia. Karena itulah kadang-kadang kita yang berjuang untuk menegakkan dakwah tidak melihat atau belum melihat hasil dari pekerjaan kita. Itulah pula sebabnya, banyak orang mempertanyakan: mana hasil kerja para da’i?

Tidak pernah nama da’i dari daerah terpencil tertulis di surat kabar. Apa artinya muballigh, kata orang. Tidak ada orang yang membicarakan nasib da’i. Seolah-olah orang tidak peduli kepadanya. Dan seolah-olah pekerjaan da’i hanya pekerjaan kecil saja.

Memang kecil!

Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik pekerjaan (amal) ialah yang dikerjakan secara berkesinambungan, terus menerus, tidak berhenti di tengah jalan, walaupun amal itu kecil, sedikit saja.”
Walaupun pekerjaan yang kita lakukan tidak tampak hasilnya, tetapi Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan membiarkan amal yang baik itu tanpa hasil.

Apakah kita akan melihat hasilnya atau tidak, itu lain soal. Yang penting bagi kita ialah nawaitu kita. Nawaitu itu seperti yang kita ucapkan dalam shalat: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. Al-An’am ayat 162).

Bukan supaya dilihat oleh orang banyak. Bukan pula supaya kita dapat menikmati hasil dari pekerjaan kita.
Kalau nawaitu kita semata-mata karena Allah, kita akan imun (kebal) dari rasa kecewa, perasaan gagal, dan lain sebagainya. Inilah khittah bagi mereka yang berjuang di jalan Allah.

“Dan orang-orang yang berjihad (untuk mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S. Al-‘Ankabut ayat 69).

Perhatikan kata “la” yang digunakan adalah “la” ta’qid. Perhatikan juga tasydidnya.

Dengan itu Allah meyakinkan, pasti akan Dia berikan kepada kita petunjuk jalan. Petunjuk jalan itu, kita tahu, terletak di pinggir jalan. Dan, hanya orang-orang yang sedang berjalan saja yang dapat melihatnya. Orang-orang yang duduk-duduk di rumah, tidak berjalan, tidak berbuat apa-apa, tidak akan bisa melihat petunjuk jalan. Sebab dia tidak di jalan. Tidak bergerak seperti orang-orang yang bergerak. Paling-paling dia melihat, sambil berpangku tangan, orang berlalu-lalang di jalan.

Dudukkan nawaitu kita untuk bismillah melakukan kewajiban. Allah tidak akan menyia-nyiakan apa yang kita perbuat, apa yang kita ikhlaskan semata-mata kepada-Nya.

Kewajiban para petugas dakwah di daerah transmigrasi, di daerah-daerah yang sepi, segi-seginya lebih dari apa yang bisa dikerjakan oleh para da’i dan muballigh di kota.

Mau tidak mau, para da’i di daerah terpencil adalah tempat bertanya. Tempat orang membawa persoalan. Kadang-kadang persoalan pribadinya, kadang-kadang persoalan keluarganya.

Apabila masyarakat sudah percaya kepada kita, mereka akan datang kepada kita guna mengeluhkan apa yang ada dalam hatinya.
Kadang-kadang kita merasa tidak tahu menahu dengan urusan yang mereka bawa, tetapi mereka membawakannya juga kepada kita. Mereka minta dan mengharapkan, kalau-kalau kita dapat menunjukkan jalan bagaimana akan menempuh persoalan itu. Untung-untung kita dapat menunjukkan. Tetapi, barangkali lebih banyak lagi di antara kita yang tidak tahu bagaimana seharusnya memecahkan persoalan masyarakat itu.

Kalau dengan pengetahuan yang kita miliki, kita tidak bisa memecahkan persoalan mereka, jangan lekas-lekas mengatakan kepada mereka: “saya tidak tahu,” atau “saya bukan ahlinya.”

Jangan begitu!

Kadang-kadang mereka itu datang kepada kita sekadar untuk mengeluarkan isi hati. Hati yang sesak, yang tertekan oleh berbagai perasaan. Mereka mengeluarkan segala yang terpendam dalam hati, hanya kepada orang yang benar-benar mereka percayai.

Kalau sudah ada yang demikian itu, itulah ijazahnya seorang da’i. Ijazah sebagai seorang yang dipercayai memimpin umat. Akhlaqul karimah adalah kunci utama untuk menjadi orang yang dipercayai umat.

Walaupun kita tidak dapat menjawab dengan tegas, dengarkanlah isi hati mereka. Sesudah itu bujuklah hatinya supaya jangan putus asa. Perlihatkanlah kepada mereka bahwa kita juga merasakan apa yang mereka derita.

Itu obat bagi mereka!

Sebab masih ada orang yang mau mendengarkan perasaan mereka. Ketika mereka datang, hati mereka amat sesak. Sesudah kita dengarkan dengan penuh perhatian seluruh isi hati mereka, mereka pulang dengan perasaan hati yang lega.

Yang saya kemukakan ini memang tidak teoritis. Saya hanya mengemukakan hal-hal yang diketemukan dalam masyarakat. Karena itu, sekali lagi saya katakan, du’at mempunyai kedudukan yang tidak bisa ditulis dalam sebuah surat keputusan.

Kita bisa memperkecil pengertian da’i hanya sebagai guru mengaji.

Kita juga bisa memperluas pengertiannya sebagai pemimpin umat.

Sekarang mari kita hitung berapa banyak umat Islam di Indonesia? Katakanlah 150 atau 200 juta, kalau tidak lebih dari itu. Kemudian, berapakah yang bersedia menjadi da’i, menggembalakan mereka?

Sedikit sekali!

Kumpulkanlah para da’i dari Muhammadiyah, dari Nahdlatul Ulama, dari Al-Irsyad, dari Dewan Da’wah, dan dari yang lain-lain. Jumlahnya sedikit sekali.

Dengan jumlah yang sedikit itu kita harus mampu mengembangkan kualitas umat Islam, agar mereka mampu menghadapi semua persoalan yang muncul.

Persoalan itu bisa datang dari jurusan umat Islam sendiri. Bisa pula datang dari jurusan mereka yang memang tidak senang kepada kemajuan dan perkembangan Islam.

Dari manapun datangnya persoalan itu, marilah kita hadapi dengan tenang.

Kita lakukan semua pekerjaan kita.

Kita mempunyai pedoman, Al-Quran dan Sunnah Rasul. Kita juga, sedikit banyak, memiliki ilmu pengetahuan.

Semua modal dasar itu harus kita tingkatkan.

Dengan lebih banyak mengaji. Dengan lebih banyak membaca. Dengan lebih banyak menyerap informasi.

Yang tidak kalah pentingnya: para da’i harus juga memiliki keterampilan-keterampilan praktis yang bermanfaat bagi masyarakat.
Du’at di daerah transmigrasi, umumnya tinggal di daerah terpencil dengan komunikasi dan transportasi yang sulit. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) belum lagi masuk, sedang untuk menjangkaunya sering sulit sekali. Harus menempuh perjalanan berat yang cukup jauh. Dalam keadaan demikian, para da’i dapat juga membantu menolong si sakit. Bukan berlaku seperti dokter, tetapi dengan keterampilan, misalnya, memijat.

Ini bukan khayali. Ini adalah pengobatan nonmedis yang sudah diakui pula oleh para ahli kesehatan. Dan, tanpa banyak keluar ongkos, keterampilan memijat tidak terlalu sulit untuk dipelajari.

Kelihatannya sepele. Tetapi untuk masyarakat di daerah terpencil yang belum terjamah oleh pelayanan kesehatan, keterampilan seperti itu tentu akan banyak manfaatnya.

Untuk masyarakat. Juga untuk kelancaran tugas-tugas dakwah selanjutnya.[]

Oleh: Dr, Mohammad Natsir

Sumber: Pengantar dialog dengan peserta Penataran Du’at Transmigrasi Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di Masjid Al-Munawwarah Tanah Abang 9 Sya’ban 1410 H/6 Maret 1990. Dimuat di Majalah Media Dakwah No. 190, Ramadhan 1410/April 1990.

Dikoreksi ulang oleh Lukman Hakiem.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*