Catatan Penting Abdullah Hehamahua tentang Mohammad Natsir dalam ‘Forum Nasi Bungkus’ di Dewan Da’wah

STIDNATSIR.AC.ID — Dr. Abdullah Hehamahua, murid senior Mohammad Natsir, dalam kuliah Pewarisan Nilai-nilai Da’wah yang diselenggarakan oleh STID Mohammad Natsir, mengingatkan tentang sejarah pendiri Dewan Da’wah yang juga merupakan para tokoh Masyumi, terutama sekali Allahu Yarham Dr. Mohammad Natsir.

Pak Abdullah, demikian beliau biasa disapa, menyampaikan hal-hal pokok yang patut diwarisi oleh generasi penerus da’wah. Di antaranya soal kepemimpinan Mohammad Natsir. Menurut beliau, Mohammad Natsir adalah seorang komandan, manajer, dan pelayan.

Sebagai komandan, kata beliau, pemimpin dengan visi dan misi yang dipunyai, berada di depan membawa bawahannya ke pintu gerbang tujuan perjuangan. Fungsi utamanya, memberi arah, perintah, dan hala tuju yang harus dilalui dan diikuti seluruh bawahannya. Untuk itu, dia harus berada di depan sebagai teladan sekaligus siap menerima segala risiko, baik berupa penderitaan fisik, psikis maupun nyawa.

“Itulah karakter Abah Mohammad Natsir yang saya kenal, baik melalui riwayat hidup yang ditulis pelbagai kalangan, cerita dari kawan-kawan, maupun yang saya alami sendiri,” ujarnya di hadapan ratusan mahasiswa STID Mohammad Natsir.

Pak Abdullah mengatakan sejarah mencatat, sebagai Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen, Abah Natsir memimpin gerakan dengan mosi integralnya sehingga lahir NKRI dari pelbagai negara-negara serikat yang ada di Indonesia pada waktu itu.

Sebagai manajer, beliau melanjutkan, Abah Natsir menjadikan bawahannya sebagai partner, mitra kerja. Dimintai, dikumpulkan, dan diterima semua ide, informasi, dan saran dari siapa saja, termasuk bawahan yang terbawah sekali.

“Itulah sebabnya lahir ‘Forum Nasi Bungkus’ di Dewan Da’wah yang melibatkan semua angkatan dari Pimpinan, tokoh, dan pengikut Masyumi di mana saya sebagai orang termuda ikut di dalamnya,” ucapnya.

Kata Pak Abdullah, di forum yang dilaksanakan setiap ba’da shalat Jum’at ini, Abah Natsir lebih banyak mendengar informasi, saran, dan masukan dari 14 peserta forum lainnya. Beliau hanya sekali-sekali memberi komentar atau kalau dimintai pendapat. Bak palu hakim di meja hijau, jika abah Natsir telah mengeluarkan pendapat, sepertinya tidak ada sanggahan yang serius.

Sebagai pelayan, Abah Natsir membantu menyediakan keperluan orang lain, baik tamu maupun karyawan sendiri. Bahkan, beliau sendiri memberi tanda dengan spidol di surat kabar setiap hari, berita mana yang akan digunting oleh bagian dokumentasi untuk dikliping. Hamper tidak ada karyawan atau tamu dari daerah yang meminta tolong, pulang dengan tangan hampa, minimal berupa tiket pesawat terbang.

Lebih lanjut Mantan ketua HMI era akhir 70-an ini menceritakan, dalam Forum Nasi Bungkus tersebut beliau lah salah satu peserta yang sekarang masih hidup dan kala itu tidak canggung memberikan banyak kritikan kepada para pemimpin tersebut.

“Saya bertanya pada Pak Syafrudin Prawiranegera, kenapa saat beliau menjadi Presiden RI, mandat itu dikembalikan kepada Bung Karno dan Hatta, tanya saya,” kata Pak Abdullah mengisahkan.

Dengan senyum beliau menjawab,”Nak Abdullah, Masyumi itu Partai Islam dan Mengedepankan Akhlak Islam. Saya hanya diberi mandat dan amanah ini saya kembalikan,” kata Pak Syafrudin.

“Saya bertanya pada Pak Moh. Roem, kenapa saat beliau menjadi Menteri Dalam Negeri, Tidak ada seorang pun Gubernur yang dipilih Menteri dari Masyumi?”

“Nak Abdullah, Masyumi adalah Partai Islam dan mengutamakan akhlak Islam. Saya memilih Gubernur sesuai kapasitasnya, bukan karena golongan. Jika ada yang kompeten, ia akan dipilih menjadi Gubernur,” kata Pak Roem.

“Saya bertanya pada Pak Burhanudin Harahap, mengapa beliau mengundurkan diri dari Perdana Menteri setelah melaksanakan pemilu tahun 1955, padahal Partainya Masyumi, mendapatkan suara besar, menang 10 wilayah dari 15 wilayah di Indonesia, dan mengapa harus mundur?”

“Nak Abdullah, Masyumi adalah partai Islam dan mengedepankan akhlak Islam. Saya menjadi Perdana Menteri dengan amanah menyelenggarakan Pemilu Pertama dan sudah ada hasilnya. Selanjutnya saya serahkan pada Presiden Soekarno untuk menentukan kabinet baru dari hasil pemilu ini. Karenanya, saya serahkan mandat ini,” kata Pak Burhanudin Harahap.

“Saya bertanya pada Pak Soekiman, saat diajak Soekarno menjadi Ketua DPRGR (selelah DPR dan Konstutuante dibubarkan melaui Dekrit Presiden), mengapa tidak ambil saja jabatan tersebut dengan tujuan berdakwah di dalamnya,”

“Nak Abullah, mana mungkin saya korbankan kawan-kawan saya yang ditangkap, dan saya memilih jabatan tersebut?,”

“Saya bertanya kepada Pak Natsir, kenapa Menteri Agama tidak diberikan kepada salah satu golongan umat Islam saja, agar tak berpisah dengan Masyumi?”

“Nak Abdullah, Masyumi itu Partai Islam dan memilih Menteri Agama sesuai kapasitasnya. Jika dia memenuhi kualitas tersebut, dari golongan mana pun bisa menjadi Menteri,” kata Pak Natsir.

 

Selain itu, Abdullah mengatakan Pak Natsir adalah sosok yang konsisten dan peduli atas apa yang dikerjakan oleh rekan sekerjanya.
Pernah pada 1981, Abdullah ditugaskan untuk melaksanakan penelitian tentang Kristenisasi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Selama dua minggu Abdullah berada di sana. Sepulangnya dari sana Ia tidak menyangka langsung mendapat “tagihan” laporan dari Natsir.

“Saya pikir, ah Pak Natsir kan sudah 70 tahun, Beliau pasti lupa. Ya Allah, dua hari kemudian, ternyata beliau masih ingat,” ungkap pria yang juga pernah dikenal sebagai aktivis mahasiswa dan berkali-kali keluar masuk penjara.

Beberapa kali terus diingatkan oleh Natsir membuat Abdullah akhirnya begadang semalaman untuk mengetik laporannya.

Abdullah juga pernah ingin mengungguli Natsir dalam hal kedatangan di pagi hari. Di suatu pagi ia merasa telah berhasil “mengalahkan” Natsir. Sebelum jam 6.30 WIB Abdullah sudah menginjakkan kaki di kantor yang terletak dibilangan Cikini, Jakarta Pusat. Pada waktu itu Natsir memiliki dua kantor lagi selain di Dewan Da’wah. Salah satunya di Cikini.

Tapi ternyata ia kaget saat mendengar suara mesin ketik diruangan Natsir.

“Saya tanya sama office boy, siapa yang berada di dalam ruangannya Pak Natsir? Office Boy menjawab, itu Abah-panggilan Pak Natsir-,” Ternyata Pak Natsir punya kunci sendiri yang disimpan di sakunya. Sehingga Ia tidak perlu menunggu OB tersebut membukakan pintunya.

Kuliah pewarisan nilai ini sengaja diselenggarakan dengan harapan, mahasiswa tidak hanya bernotalgia mengingat masa lalu, namun juga mampu melakukan refleksi untuk memahami apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Pak Natsir ketika beliau masih hidup dan mewariskan nilai-nilai keteladanan yang terus dapat dijadikan sebagai bahan inspirasi dan motifasi dalam menjawab tantangan-tantangan Indonesia di masa depan. []

Reporter: Alfian Muttakin

Editor: Saeful R.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*