Ustadz Abdul Wahid Alwi, MA: Ikhlas Harus Menjadi Elemen Pokok Da’i

STIDNATSIR.AC.ID – 58 da’i alumni STID Mohammad Natsir mendapatkan pembekalan da’i yang digelar selama 3 hari (22-24/10), di Gedung Menara Da’wah, Kramat, Jakarta Pusat. Di hari pertama, Senin (22/10), Beberapa tokoh sentral Dewan Da’wah turut memberikan arahan, salah satunya adalah Wakil Ketua Umum Dewan Da’wah, H. Abdul Wahid Alwi, MA.

Ustadz Alwi mengingatkan, sebagai juru da’wah sejatinya mencontoh paradigma da’wah para Nabi dan Rasul terdahulu, yaitu mengajak umat untuk mengesakan Allah, karena inti dari ilmu adalah Tauhid.

Mengajak umat kepada Tauhid, bukan lah perkara mudah. Selalu ada upaya dari musuh-musuh Allah untuk menghentikan langkah da’wah ini. Sebab itu, seorang da’i harus senantiasa ikhlas dalam berda’wah dan meminta pertolongan kepada Allah.

“Sehebat apapun anda, apabila tidak ditolong Allah, tidak akan bisa melakukan sesuatu,” tandasnya.

Salim bin Abdullah pernah menasehati Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan menulis sepucuk surat, bahwa pertolongan Allah kepada hamba bergantung pada kadar keikhlasan niatnya. Apabila sempurna niatnya, maka sempurna pula pertolongan Allah baginya.

Ia melanjutkan, meski sulit, ikhlas harus menjadi elemen pokok da’i dalam mengarungi lapangan da’wah, karena pada dasarnya hawa nafsu manusia selalu mengarah kepada keburukan. Bahkan kemurnian hati merupakan modal yang tak ternilai dengan materi.

“Ikhlas adalah modal yang tak ternilai dengan Rupiah, Riyal, maupun Dollar,” ujarnya.

Lantas ia menceritakan pengalamannya, ketika mendapatkan beasiswa kuliah untuk studi di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.

Setelah meminta kepada pemerintah Saudi agar mempermudah pelajar Indonesia studi di Arab Saudi, Mohammad Natsir begitu memperhatikan dan mewanti-wanti mahasiswa yang akan berangkat ke Madinah.

“Sebelum dikirim ke Madinah, Pak Natsir bertanya, ‘Niat kalian apa setelah terpilih melanjutkan studi di Madinah?’, “ tuturnya. Menunjukkan betapa Mohammad Natsir tidak menganggap remeh persoalan hati.

Ustadz Alwi melanjutkan kisahnya, ketika ia kuliah di Madinah, setiap mahasiswa diberikan uang saku sejumlah 360 riyal per bulannya. Uang itu kemudian ia manfaatkan sebagian untuk membeli buku. Menurutnya, bisa membeli buku merupakan nikmat yang besar dari Allah.

Meskipun telah difasilitasi asrama, Pak Natsir justru memerintahkan mahasiswa-mahasiwa Indonesia untuk menyewa sebuah rumah, agar digunakan untuk berkumpul mendiskusikan terkait majalah, kaset, buku-buku ulama terdahulu, serta mendiskusikan problematika umat dan konstelasi politik tanah air.

Dari forum diskusi tersebutlah, kelak lahir tokoh-tokoh yang berjuang meningkatkan pendidikan Islam di Indonesia, seperti ustadz Abu Nida yang mendirikan Pesantren Bin Baz di Jogja, kemudian Ustadz Ahmad Faiz yang mendirikan Pesantren Imam Bukhori di Solo, dan Ustadz Aunur Rofiq yang mendirikan Pesantren Al-Furqon di Gresik. []

Reporter: Faris Rasyid

Editor: Saeful R

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*