Sepenggal Kisah Upaya Mencari Titik Temu: Sebuah Refleksi Kemerdekaan

Oleh: Fatih Madini (Sekretaris Himpunan Mahasiswa Jurnalistik Dewan Da’wah)

“Menjelang kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perdebatan tajam antara sejumlah tokoh bangsa.

Para tokoh yang berkumpul di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mendapatkan tugas untuk menyiapkan naskah Undang-undang Dasar bagi Negara yang akan merdeka.

Terjadi perdebatan keras dan cerdas antara berbagai tokoh dengan latar belakang pemikiran masing-masing.

Para tokoh Islam yang menjadi anggota BPUPK mengusulkan agar Negara Indonesia merdeka nantinya berdasarkan kepada Islam dan menerapkan syariat Islam.

Sebab, hukum Islam memang sudah berlaku di berbagai wilayah di Indonesia, jauh sebelum kedatangan penjajah Belanda dan lain-lain…

Akan tetapi, ada juga segolongan lain yang menolak ditegaskannya Indonesia sebagai Negara Islam yang menerapkan syariat Islam. Golongan ini ingin, agar negara bersikap netral terhadap agama.

Jadi, negara diatur dengan hukum buatan manusia, bukan hukum agama, sebagaimana yang telah terjadi di Negara-negara Barat. Pihak Kristen juga setuju dengan konsep negara sekular ini.

Karena ada dua aspirasi besar tersebut, lalu dibentuklah Panitia Sembilan, untuk mencarikan jalan keluar.

Panitia Sembilan beranggotakan: Soekarno, Moh. Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Subardjo, Haji Agus Salim, KH Wachid Hasjim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, dan MA Maramis.

Setelah bermusyawarah, akhirnya Panitia Sembilan berhasil merumuskan “Piagam Jakarta”, yang dianggap sebagai suatu bentuk kompromi. Adalah Soekarno yang memimpin Panitia Sembilan itu.

Usai menyampaikan naskah Piagam Jakarta kepada para pemimpin dan anggota BPUPK, Soekarno mengatakan:

“Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik asal-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai.”

Soekarno juga mengajak agar seluruh anggota BPUPK segera bersatu mewujudkan Indonesia merdeka:

“Marilah kita sekarang menunjukkan ke hadapan Allah swt dan di hadapan seluruh dunia melintasi lima benua dan tujuh samudra, bahwa bangsa Indonesia telah kuat untuk merdeka, dan oleh karenanya bangsa Indonesia itu bersatu bulat dan tidak ada retak di dalam dada bangsa itu.”

*****

Namun, ketika itu, ajakan Soekarno untuk menerima naskah Piagam Jakarta belum diterima sepenuhnya oleh berbagai kalangan. Dari pihak Kristen, Latuharhary, tokoh Kristen dari Maluku, yang menggugat rumusan Piagam Jakarta.

Menanggapi Latuharhary, Soekarno menyatakan: “Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam.

Jadi, manakala kalimat itu tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini, jadi perselisihan nanti terus.”

K.H. Wachid Hasjim, tokoh NU juga menyampaikan tanggapannya, bahwa rumusan Piagam Jakarta itu tidak akan menimbulkan masalah seperti yang dikhawatirkan.

Menanggapi pernyataan Wachid Hasjim itu, Soekarno menegaskan lagi, “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama.

Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima panitia ini.”

Piagam Jakarta adalah naskah Pembukaan (Preambule) UUD 1945 yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia merdeka.

Ketika naskah pembukaan itu sudah disepakati, maka naskah-naskah rincian pasal-pasal dalam UUD 1945 masih menjadi persoalan.

Dalam rapat tanggal 13 Juli 1945, Wachid Hasjim mengusulkan, agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”

Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara adalah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya…

Tapi, Agus Salim mengingatkan, bahwa usul itu berarti mematahkan lagi kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Usul Wachid Hasjim akhirnya kandas.

Tapi, pada rapat tanggal 14 Juli 1945, Ki Bagus Hadikoesoemo, tokoh Muhammadiyah kembali mengangkat usul Kyai Sanusi yang meminta agar frase “bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta di hapuskan saja.

Jadi, bunyinya: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.”

Menanggapi permintaan Kyai Sanusi dan Ki Bagus Hadioesoemo, Soekarno kembali mengingatkan akan adanya kesepakatan yang telah dicapai dalam Panitia Sembilan.

Soekarno lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPK: “Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen…

Pendek kata, inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan anggota Soekiman, gentlemen’s agreement, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan”

Begitulah kisah perdebatan tajam di antara para pendiri bangsa. Dan akhirnya, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, alhamdulillah, kita pun meraih kemerdekaan.

Indonesia adalah negara yang begitu beragam. Karena itu, diperlukan kearifan, kecerdasan, dan keikhlasan para pemimpin kita untuk memberi teladan dan kehidupan, agar kapal NKRI tetap selamat dan sejahtera menuju pantai seberang” (Adian Husaini, Islam dan Pancasila, 2020: 17-21)

Semoga kisah di atas bisa menjadi pengingat bagi kita untuk terus komitmen dalam menumbuhkan tradisi intelektual dan budaya dialog dalam menghadapi perbedaan pendapat, pemikiran, sampai keyakinan.

Sehingga ketika tidak sependapat, kita bisa memberi nasihat ataupun kritik yang tajam dengan cara yang baik, ilmiah, adil, dan bijaksana

Jangan sampai mengesampingkan akal dan mengutamakan ego dan nafsu ketika berhadapan dengan perbedaan, sehingga terus-menerus menumbuhkan budaya benci Apalagi sampai menggunakan kekerasan.

Maka dalam momentum hut RI ke-76 ini menjadi momentum kita, untuk mulai menumbuhkan sikap tersebut. Insyaallah, dengan demikian, kapal NKRI yang penuh dengan keberagaman dan yang sudah berusia 76 tahun ini tidak akan karam

Selasa, 17 Agustus 2021

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*