Ketua STID Mohammad Natsir Pimpin Diskusi Ilmiah di Pusat Kajian Dewan Da’wah, Inilah Intisarinya

STIDNATSIR.AC.ID – Ketua STID Mohammad Natsir, Dwi Budiman Assiroji, M.Pd.I memimpin diskusi ilmiah yang diadakan oleh Madrasah Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Da’wah, Kamis (31/1) di Gedung Menara Da’wah Jakarta Pusat.

Turut hadir sebagai pemateri Wildan Hasan, M.Pd.I dari Lingkar Studi Capita Selecta M. Natsir, Arthawijaya seorang jurnalis dan Penulis buku sejarah masyumi, dan Tatang Muttaqin, Ph.D Peneliti di Groningen Research Centre for Southeast Asia and ASEAN.

Dalam forum yang bertemakan Wawasan Intelektual Mohammad Natsir di Mata Generasi Milenial tersebut, Ustadz Dwi Budiman mengatakan, forum kali ini dapat disebut dari milenial untuk milenial. Karena dari segi usia para pemateri juga masih tergolong pada generasi milenial, dan audiens yang hadir juga mayoritas dari generasi milenial. Meski demikian terdapat pula audiens yang telah lanjut usia mengikuti halaqoh diskusi ini. Ia juga berharap akan banyak diskusi dalam forum ini.

Ustadz Wildan Hasan mengawali jalannya diskusi ini dengan menyampaikan gagasannya mengenai Ruh intiqod dan pendidikan untuk mempersiapkan generasi akhir zaman. Menurutnya kita sering mengkaji pemikiran M. Natsir, namun tidak terpikir oleh kita mengkaji bagaimana Natsir mengkaji.

Ketua MIUMI Bekasi tersebut juga mengatakan Saat ini umat Islam kehilangan motif yang dulu menjadi supremasi kejayaan peradaban Islam yakni mental dan semangat penelitian atau Ruh Intiqod (spirit of inquiry). Budaya literasi yang rendah, semangat berdiskusi dan mengkaji yang lemah menunjukkan masih sulit mengembalikan kejayaan umat Islam di masa kini. Hampir semua orang saat ini menyukai sesuatu yang serba instan, cepat tapi tidak akurat, ramai dan riuh rendah.

“Pendidikan sekaranglah yang menentukan akhir zaman, bukan mengkhawatirkan pendidikan akhir zaman,” tuturnya.

Selanjutnya jurnalis Arthawijaya menyampaikan tentang nilai-nilai yang dapat dipelajari dari masyumi. Menurutnya sedikitnya ada lima nilai yang dapat diteladani dari para tokoh masyumi. Pertama yakni mereka tidak memperdebatkan hal hal yg dapat memecah belah umat, mereka hanya ingin membuat wadah untuk menampung aspirasi umat.

Kedua, toleransi para tokoh masyumi kepada tokoh-tokoh kelompok agama lain sangat luar biasa. Ketiga, kesederhanaan mereka dalam hidup sehingga sulit terjatuh dalam praktik korupsi dan sebagainya. Keempat, keteguhannya dalam memegang prinsip, sehingga sulit untuk ditunggangi.

Terakhir, kesabaran mereka dalam berjuang. Hal ini dibuktikan ketika Natsir menasehati Kartosoewirjo ketika ingin mengangkat senjata, “Apabila rumah yang kita dirikan belum sesuai kehendak kita, apa lantas kita bakar hangus,”.

“Prinsip bersabar dalam berjuang harus kita pegang. Para tokoh masyumi dahulu berjuang dengan sabar. Sabar namun tidak membiarkan amar ma’ruf nahi munkar. Melakukannya dengan penuh hikmah, tidak pernah memberontak kepada pemerintah. Karena apabila pemerintah masih sholat, muslim dilarang untuk memberontak,” ucap mantan jurnalis Majalah Sabili tersebut.

Tatang Muttaqin lantas menyampaikan, Buya Natsir adalah orang yang multi talent/ menguasai banyak keahlian dan disiplin ilmu, sehingga memudahkannya berinteraksi dengan tokoh-tokoh. Selain itu, Natsir juga merupakan sosok yang menarik bagi kaum milenial karena beliau sangat flamboyan.

Natsir menginisiasi dan menginstitusionalkan gagasannya di kampus-kampus seperti UII dan Unisba. Bahkan masjid-masjid yang berdiri di UI, ITB dan lainnya tak lepas dari kontribusinya

“Kita harus mengikuti semangatnya pejuang jaman dahulu, bukan melihat hasilnya. Agar kita menjadi produsen bukan sekedar konsumen,” ujar anggota anggota the James Coleman Association tersebut.

Setelah para narasumber menyampaikan gagasannya, para audiens berkesempatan menyampaikan pandangan dan pertanyaan. []

Reporter: Faris Rasyid

Editor: Saeful R

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*