Sampaikan Kuliah Umum, Ketua Dewan Syura Masjid Jogokariyan Jogjakarta Beberkan Kiat Jitu Berdayakan Masjid

STIDNATSIR.AC.ID – Menyambut aktivitas perkuliahan semester genap tahun akademik 2020-2021, Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir menggelar kuliah umum secara virtual yang diikuti oleh seluruh mahasiswa dan mahasiswi pada Senin (22/2/21) lalu, disampaikan oleh Ketua Dewan Syura Masjid Jogokariyan Yogyakarta, ustadz Muhammad Jazir ASP.

Disiarkan melalui Zoom dan Channel YouTube Dakho TV, Ketua STID M Natsir, Ustadz Dr. Dwi Budiman Assiroji, M.Pd.I dalam sambutannya menyampaikan, bahwa pendiri kampus ini, Allah yarham Mohammad Natsir menjadikan Masjid, Kampus dan Pesantren sebagai trilogi pilar da’wah yang sama-sama memegang peranan penting dalam pengaderan da’i. Oleh sebab itu, dalam proses pengaderan di kampus ini, setelah mahasiswa ditempa selama 2 tahun pertama di asrama mempelajari ilmu-ilmu keagamaan, pembentukan karakter, dan kegiatan ekstrakulikuler, selanjutnya mahasiswa akan tinggal menetap di masjid membersamai masyarakat agar memiliki modal mengenai persoalan-persoalan tentang da’wah di masjid.

“Harapannya mahasiswa kami menjadi dai yang menjadikan masjid sebagai pusat dakwah, maka pada kali ini kami masih mengundang ustadz Muhammad Jazir yang mempunyai benang merah dengan salah satu Prodi kami.” ucapnya. Dr. Dwi juga mengucapkan terima kasih kepada Para dosen yang hadir secara daring, para panitia dan seluruh mahasiswa yang tetap istiqomah mengikuti rangkaian pengaderan di Kampus ini.

Ketua STID Mohammad Natsir, Dr. Dwi Budiman Assiroji, M.Pd.I saat menyampaikan sambutannya

Selanjutnya, Ustadz Muhammad Jazir menyampaikan bahwa berdirinya Masjid Jogokariyan, dahulu diinisiasi oleh 6 mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta yang berkeinginan untuk memarakkan syiar Islam di daerah kecamatan Mantrijeron dengan mendirikan Pengajian Anak-anak Djogokariyan (PAD) pada tahun 1964 sebagai organisasi Da’wah pertama di Kampung Jogokariyan yang pernah menjadi basis simpatisan Partai Komunis Indonesia tersebut. Untuk menarik minat anak-anak kampung tersebut, mereka membentuk beberapa kegiatan ekstrakulikuler seperti Pramuka Khusus Islam (PRAKUSI) dan kelompok Drumband.

Pasca pergolakan G30S PKI pada tahun 1965, para pemuda ingin membersihkan kampung tersebut dari bekas-bekas pengaruh PKI, maka salah seorang penderma mendirikan masjid sebagai sarana da’wah. “Masjid berukuran 9×15 ini menjadi wahana dakwah untuk membangun masyarakat Islam di Kampung Jogokariyan. Jadi masjid ini merupakan suatu perjuangan dan inisiatif mahasiswa dan muhsinin,” bebernya.

Ustadz Jazir melihat, kini banyak sekali muballigh namun sedikit da’i, karena muballigh hanya menyampaikan ceramah. Menurutnya, da’i merupakan agen perubahan sosial dan pusat perubahannya bermula dari masjid, “Muballigh itu hanya menyampaikan materi ceramah, tidak memikirkan perubahan sosial. Ballighuw ‘anni wa law aayah. Tapi da’ i melakukan sebuah social engineering, upaya perubahan sosial yang berbasis dari nilai-nilai keislaman. Dan pusat dari perubahan sosial itu masjid.”

Ustadz Muhammad Jazir saat menjadi pembicara dalam Kuliah Umum

“Jadi jangan sampai STID Mohammad Natsir menjadi sekolah muballigh yang hanya pandai ceramah, tapi tidak siap melakukan perubahan sosial di masyarakat,” imbuhnya

Selain itu, Ustadz Jazir mengatakan bahwa mahasiswa Da’wah adalah yang memilih untuk merubah masyarakat ke jalan yang lebih baik, dari masyarakat yang apatis dengan masjid menjadi peduli memakmurkan masjid. “Jadi, mahasiswa Da’wah adalah agen perubahan. Itu yang perlu dicatat”.

Beliau juga berharap mahasiswa STID Mohammad Natsir dapat mencontoh jejak pendirinya, sebagai pelaku perubahan yang luar biasa dalam da’wah dan politik di negeri ini. Pak Natsir merubah Negara Federalis yang saat itu bernama Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Mosi Integral pada tahun 1950.

“Oleh karenanya, nilai dasar yang harus dimiliki lulusan STID Mohammad Natsir adalah melahirkan Natsir-Natsir baru. Memiliki pengetahuan kemasyarakatan, menguasai ilmu keagamaan dan kemampuan menyampaikan gagasan,” ujarnya.

Ia melanjutkan, di antara yang harus dilakukan oleh mahasiswa Da’wah adalah memahami ideologi kemasjidan sebagaimana yang tertuang dalam Surat At Taubah ayat 18, yakni beriman kepada Allah dan hari kiamat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali kepada Allah. Ustadz Jazir menjelaskan, bahwa bagi Pengurus Masjid (Dewan Kemakmuran Masjid), memakmurkan masjid adalah kemampuan manajerial, memobilisasi dan mengorganisir masyarakat muslim melaksanakan sholat berjamaah di masjid serta berpartisipasi dalam setiap kegiatan masjid.

Selain itu, Ustadz Jazir memaparkan langkah-langkah membangun masyarakat yang peka terhadap masjid. Pertama, ialah memiliki data dari masyarakat. Mahasiswa da’wah yang berkiprah di tengah masyarakat harus memiliki informasi data ade mengenai masyarakat yang ingin dirubah, agar dapat memobilisasi ibadah mereka dengan memberikan pelatihan ibadah, membangun gerakan ekonomi sehingga para mustahil zakat bisa menjadi muzakki dan menghilangkan segala bentuk kekhawatiran masyarakat.

Menurutnya, adzan itu memobilisasi masyarakat untuk hadir sholat berjamaah di masjid, tidak hanya mengumandangkan adzan saja. Jangan sampai tujuan mendirikan masjid hanya untuk menghiasnya saja, namun tidak menjadi pilar perubahan bagi masyarakat, “Kesalahan besar pengurus masjid saat ini adalah hanya menghias fisik bangunan masjid. Sebagaimana dulu Wangsa Syailendra 92 tahun membangun Candi Borobudur. Sehingga tidak memikirkan perekonomian masyarakat di sekitar masjid. Itu bukan masjid, itu candi Islam,” tandasnya.

Kuliah umum ini berjalan dengan lancar, mahasiswa juga diberikan kesempatan untuk bertanya melalui kolom percakapan dan bertanya secara langsung. [FR]

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*