Masih Tetap di Lunang

Oleh : Dr. Ahmad Misbahul Anam, MA (Dosen Tetap Prodi PMI STID Mohammad Natsir)

Jarum jam menunjukkan angka 2 dini hari, mobil berhenti di Masjid As-Syakirin Lunang Sumatera Barat. Penat, lengket, ngantuk jadi satu, setelah dari pagi melakukan perjalanan ke Pesisir Selatan menghadiri pernikahan dai lapangan yang mempersunting akhwat dari daerah tersebut.

“Tadz, kita tiduran di Masjid saja ya! Sampai subuh, Mau telepon ke tuan rumah ndak enak”, tanyaku pada ustadz Dr. Muhammad Noer waketum PDK saat itu.

Sambil berjalan mengambil air wudhu, beliau menjawab, “Siap laksanakan”. Berat rasanya menawarkannya, karena beliau belum lama sembuh dan keluar rumah sakit karena sakit yang dideritanya. Tapi keinginannya ikut menengok dai tak bisa ditunda lain waktu.

Sebenarnya tidak enak mengajukan tawaran seperti itu, tapi apa boleh dikata, daerah ini pertama kalinya saya berkunjung. Alamat rumah dai belum saya ketahui posisinya, sementara gelap malam tak memungkinkan mencarinya. Mau telepon juga merasa sungkan, sudah lewat malam.

Setelah shalat, kami berdua coba merebahkan badan, menyelonjorkan tulang-tulang. Walaupun agak terganggu melihat langit-langit atap Masjid dengan kayu-kayu yang belum ditutup plafon, ku usahakan sebisa mungkin tidur sejenak dengan memejamkan mata.

Belum juga berapa lama tertidur, panggilan telepon berbunyi, “Sampean dimana? Apa sudah sampai?. Campuran bahasa Jawa dan Indonesia yang ‘medok’ dari dai yang akan kita kunjungi.

Saja jawab, “Alhamdulillah, sudah di Masjid depan Polsek Lunang tadz?”. “Saya sama pak Noer, ni lagi rebahan nunggu Shalat Subuh sekalian!.”

Katanya, “Tunggu di situ ya. Saya susul. Kebetulan rumah tak jauh dari situ, dan saya termasuk pengurus Masjid itu sejak rintisan pertama”. Taka lama beliau muncul, dengan pakaian khas santri Jawa Timurannya, sarung dan peci hitam.

Beliau asal Lamongan, juga istrinya. Putra putrinya juga belajar di Jawa, ada juga yang masih mondok di lamongan saat itu. Malam itu kami berankulan, dan beliau menawarkan diri bagaimana kalo menginap di wisma yang tak jauh dari tempat tersebut. Maklum, angin malam yang dingin dan juga hujan membuat kawatir berpengaruh pada kesehatan, terutama pak Noer.

Kami berpindah ke wisma, yang sebenarnya tak kalah nyaman dengan saat di Masjid. Penginapan itu termasuk ramai oleh pengunjung dan ketepatan malam itu ada liga bola Eropa. Suara sorakan dan asap rokok masuk dengan liar melalui ‘angin-angin cendela’. Malam itu malah tak bisa tidur, sambil berharap segera Subuh dan berpindah ke Masjid.

Ustadz Mughni Ismail, selepas mengantar kami langsung pulang. “Allahu Akbar, Allahu Akbar” suara merdu terdengar dari masjid. “Alhamdulillah“, kataku dalam hati. Kami segera berpindah ke Masjid menunaikan Shalat Subuh, dzikir dan menunggu Syuruq untuk shalat. Sekalian menunggu matahari pagi, juga kedatangan ustadz Mughni untuk mengajak kami kerumahnya.

Dari sebelah Masjid, bau pisang goreng seperti menarik kami. Ku sampaikan pada Pak Noer, “Tadz, bagaimana kalo kita berpindah ke kedai kopi, sambil menunggu beliau”.

“Ayolah kalau begitu”, katanya. Kopi dan pisang goreng keluar hampir berbarengan, sepertinya pemilik kedai tahu betul, apa yang menjadi kegundahan perut kami. “Bismillah“, seruputan kopi mampir di bibir Pak Noer pagi itu, lalu pisang goreng berpindah tangan.

“Tadz, memang sudah boleh minum kopi?”, sindirku pada beliau. “Insyaallah jadi obat”, jawabnya pendek.

Tak lama berselang, berbarengan seruputan terakhir, sang dai datang dengan berjalan kaki. “Kita berpindah ya, ke rumah saja”, sapa beliau saat itu.

Rumahnya yang asri, melewati pohon-pohon tinggi dan dikelilingi tanaman buah yang mulai mengeluarkan bau harumnya, ustadz Mughni tinggal bersama keluarganya sejak 1978. Mengikuti program dai transmigran yang digagas Pak Natsir saat itu. Sampai kini beliau masih eksis, membina kawasan-kawasan transmigran di daerah tersebut.

Beliau aktif mengirimkan laporan kegiatannya. Juga hampir setiap tahun selalu mampir ke kantor Dewan Da’wah Kramat Raya 45 Jakarta, saat berkunjung ke keluarga di Lamongan ataupun menengok putranya yang di Banten.

Beberapa tahun lewat minta agar selalu dikirimkan dai muda ke daerah ini. Maklum katanya, “Saya sudah mulai tua dan berat kalo terlalu sering ke kawasan transmigran”. Beberapa titik binaan kita berikan dai tetap, lulusan STID M. Natsir untuk mengabdi.

Dua tahun ini malah, sengaja kita kirim dai asal Sumbar yang agak dekat dengan Lunang. Tujuanya, agar mereka lebih dekat dengan sang dai, dan juga bisa merintis dakwah bersama sejak awal. Di kampung dia tinggal, juga berhasil menghimpun 10 hewan sapi Qurban di tahun ini, tanda dakwah beliau diterima.

Beberapa jam lewat, sebelum upacara 17 Agustusan dimulai, beliau mengirimkan berita bantuan mushaf al-Quran untuk jamaah binaannya. Kiriman itu kayaknya lebih menggemberikan dibandingkan berita yang lainya. Di benaknya, berarti dakwah masih akan terus berlangsung.

Selamat berdakwah di hari kemerdekaan. Semoga kemerdekaan untuk berdakwah masih terus dapat disiarkan di tengah-tengah umat.

Ciracas, 17 Agustus 2021

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*