SI BUNGSU, USTADZ SYUHADA ITU, BERPULANG

 

Oleh : Abdullah Hehamahua

Jum’at, 18 Februari dini hari, kubaca pesan WhatsApp di grup “Percakapan Antar Generasi.” Bak disambar petir, dengan sedikit berteriak kuucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi ro’jiun.” Istri yang berada di sampingku, bertanya, heran. “Bungsu,” kataku lirih. Istri marah. Sebab, bulan terakhir ini, isteri selalu ingatkan untuk kami ke Bekasi, mengunjungi beliau yang sedang sakit. Saking populernya nama “bungsu” itu di kalangan “kami” sehingga istriku pun tahu, ustadz Syuhada Bahri telah berpulang.

Usroh di Masjid Al Munawaroh
Ustadz Syuhada Bahri dipanggil dengan sebutan “bungsu.” Sebab, beliau merupakan peserta termuda dari kelompok usroh (persaudaraan /kekeluargaan-ed) “kami.” Ustadz Syuhada Bahri, tahun 1981 melobi Pak Yunan Nasution sebagai Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Jakarta untuk memperoleh ruangan di Masjid Al Munawaroh, Tanah Abang. Ruangan itu kami gunakan untuk kajian usroh, setiap Kamis sore.

“Kami” terdiri dari: Ustadz Fauzi Agustjik, Abdidin Urra, Abu Ridha, Sahar L. Hasan, Wafiudin, Pak De, Syuhada Bahri, dan saya sendiri. Ustadz Dahlan Basri, Murabbi kami. Lima orang telah “berpulang.” Tinggal empat orang: Abu Ridho, Sahar L. Hasan, Wafiuddin, dan saya sendiri. Al Akh Sahar L. Hasan telah uzur. Abu Ridhah, meski masih menjadi anggota DPD, tapi sering terganggu kesehatannya. Ustadz Wafiuddin tenggelam dalam dunianya. Kami hanya berkomunikasi via telepon. Itu pun hanya sekali dua. Praktis, usroh kami tidak lagi efektif. Namun, saya, istri dan ustadz Hafidz sempat membesuk beliau di rumah sakit, Kalimalang, Bekasi. Pertemuan terakhir kami, 18 Agustus 2020, pasca deklarasi KAMI di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Ustadz Syuhada Bahri, Abdul Wahid Alwi, Hafidz, dan saya sendiri, jumpa membicarakan kondisi internal Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

Pelatihan Da’i
Setiap putusan Kelompok Nasi Bungkus yang berkaitan dengan generasi muda Islam, kuminta ustadz Syuhada, Abidin Urra, dan Hafidz untuk mengeksekusinya. Ustadz Syuhada aktif melobi internal, khususnya Pak Adi mengenai keuangan. Ustadz Fauzi Agustjik, Abidin Urra, dan Wafiuddin menggarap kawan-kawan di Rabithah. Abu Ridho dan Muzayyin menggarap kawan-kawan Timur Tengah. Eksekusi kegiatan-kegiatan di lapangan, selain melibatkan ustadz Hafidz yang bukan anggota Usroh, juga menyertakan Mutammimul Ula (Ketum PB.PII), Nadhor, dan Ramli Hutabarat.
Beberapa proyek bersama ustadz Syuhada yang kuingat, antara lain pelaksanaan Pelatihan Da’i Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di Masjid Al Munawaroh, Tanah Abang dan program yang sama di Lampung. Pembiayaan berasal dari Bendahara DDII. Namun, kawan-kawan juga biasa mencari dana dari luar, khususnya jamaah pengajian yang berada dalam bimbingan kami.
Pelatihan da’i di Masjid Al Munawaroh (1982) ini sangat spesial. Sebab, saya ditunjuk Abah Natsir sebagai salah seorang instruktur. Namun, paling utama, Abah Natsir di depan peserta, mengisahkan bagaimana beliau menangani kasus Aceh dan DI-TII. Kisah paling mengharu biru perasaan waktu itu, kronologi beliau mengundurkan diri dari jabatan PM.

Dampak Peristiwa Tanjung Pariok
Tanggal 12 September malam, terjadi penembakan ratusan umat Islam di Tanjung Priok oleh pasukannya Jenderal Beny Murdhani. Padahal, mereka hanya menuntut pembebasan kawan-kawannya yang ditahan. Paginya, Kamis, anggota Kelompok Nasi Bungkus, rapat membahas tragedi tersebut. Sejumlah tokoh Masyumi hadir: Abah Natsir, Syafruddin Perwiranegara, Burhanuddin Harahap, Anwar Harjono, Rajab Ranggasoli, Ibrahim Madilao, Dalari Oemar, dan saya sendiri.

MS Ka’ban, Ketum HMI Cabang Jakarta waktu itu, menemuiku di sela-sela rapat yang sedang berlangsung. Beliau laporkan secara garis besar peristiwa Tanjung Pariok, mengenai korban dan mereka-mereka yang ditahan. “Abang jangan pulang ke rumah lagi. Aparat sudah kepung rumah abang,” kata Ka’ban. Sejak itu, saya tidak pernah lihat lagi rumahku, sampai sekarang.
Ustadz Syuhada, ba’da dzuhur, menelponku. Beliau memberitahuku untuk tidak usah ke Masjid Al Munawarah. Hari itu, Kamis, usroh rutin kami di masjid Al Munawaroh. “Masjid Al Munawaroh sudah dikepung aparat,” katanya menjelaskan. Beberapa hari kemudian, pertemuan dilakukan di rumah ustadz Wafiuddin. Kawan-kawan laporkan aktifis yang ditangkap, antara lain: Abdul Qadir Djaelani, KH. Mawardi Noer, AM Fatwa, Tony Ardhi, dan Erlangga. “Kalau gitu, kuserahkan diri saja ke Laksusda,” kataku. Ustadz Syuhada justru melarang. Alasannya, jamaah nanti seperti anak ayam kehilangan induk. Sebab, mereka yang dianggap “pemimpin” lapangan, sudah ditangkap.

Diantar Si “Bungsu”
Saya bersama Mutammimul Ula, Ketua Umum PB.PII, menjumpai Pak Rajab Ranggasoli di Restoran Geliga. Menurutnya, Abah Natsir perintahkan saya untuk segera hijrah ke Malaysia. “Saudara Syuhada yang mengurusnya nanti,” katanya. Ustadz Syuhada, suatu malam mengantarku ke rumah adik ipar di daerah Pluit. Saya harus menunggu mahasiswa IKIP Makassar yang akan mengantarku ke Malaysia. Namun, pemberangkatan ditunda karena mahasiswa tersebut harus ikut UTS.

Asisten pribadi Jenderal Nasution, Bakri menemuiku. “Ale musti capat tinggalkan Jakarta,” katanya dalam dialeg Ambon. Menurutnya, Jenderal Beni Murdhani sudah keluarkan perintah tembak di tempat terhadap diriku. Abah Natsir juga terima informasi itu dari pak Rajab Ranggasoli, orang yang dekat dengan Jenderal Nasution. Ustadz Syuhada, atas perintah Abah Natsir segera memberangkatkanku ke Malaysia tanpa menunggu mahasiswa IKIP Makassar. Malam itu, ustadz Syuhada dan Hafidz menyerahkan diriku ke ustadz Abu Ridhoh di daerah Kalibata, Jakarta. Saya bersama Abu Ridhoh, Ketua GPII Jawa Barat, dan sopir menuju Sumatera. Pagi harinya, di Lampung, Abu Ridhah dan sopir kembali ke Jakarta. Saya dan Ketua GPII Jabar naik bus menuju Medan. Beberapa hari di Medan, saya pun menyeberang ke Malaysia.
Lebih kurang setahun di Malaysia, istri dan anak-anakku menyusul. Ustadz Syuhada mengurus keberangkatan mereka. Tiket pesawat terbang, paspor, dan fiskal, seluruhnya diurus beliau. Namun, Ustadz Edi Suleman, Tangerang yang diamanahkan untuk mengantar istri dan tiga anakku ke Malaysia.

Haji Bersama Si Bungsu
Tahun 2008, pertama kali, saya dan istri menginjakkan kaki di bumi Arab. Kami berdua melaksanakan ibadah haji melalui Kementerian Agama. Sewaktu di Madinah, Petugas Haji dalam briefing, mengatakan, di Makkah nanti, jamaah tidak menginap di Mina. Jamaah berangkat dari Makkah langsung ke Arafah. Kuprotes. Namun, alasan petugas, kemah di Mina belum dipasang. Saya manggut saja. Maklum, saya belum pernah ke Arab Saudi.

Di Makkah, sewaktu kegiatan ziarah, kusaksikan perkemahan di Mina sudah terpasang. Indra keenamku sebagai orang KPK, ada “something wrong” dalam pelaksanaan haji. Kuhubungi ustadz Syuhada agar bisa bergabung dengan jamaah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Malam hari sebelum ritual haji dimulai, ustadz Syuhada menjemputku dan isteri di masjid yang berada sekitar kawasan Aziziyah.
Saya dan isteri pun melakukan ritual haji bersama jamaah DDII. Tanpa bayar. Usai ritual haji, saya dan isteri kembali bergabung dengan jamaah Kemenag. Indera KPK pun kujalankan. Di Jakarta, kuminta Direktorat Litbang KPK meneliti pelaksanaan haji yang sarat dengan pelbagai masalah. Tidak lama kemudian, Menteri Agama ditangkap KPK.

Kehilangan yang Signifikan
Kuhitung, siapa saja, selain ayah, ibu, dan kedua mertuaku yang paling berjasa terhadap keluargaku selama di Jakarta. Kutemukan, selain Abah Natsir dan Pak Ibrahim Madilao, orang itu adalah ustadz Syuhada Bahri, Si Bungsu yang telah meninggalkan kita semua. Saya pribadi, betul-betul kehilangan. Kehilangan yang sangat signifikan. Semoga dosa-dosa almarhum diampuni. Amal ibadahnya diterima. Dilapangkan kuburnya dan dimasukkan ke dalam syurga-Nya. Semoga pula keluarga yang ditinggal diberi ketabahan dalam menerima takdir ini. Aamiin Yaa Robbal A’lamiin !!!

(Depok, 18 Februari 2022).

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*