BRIN Undang Mahasiswa STID Mohammad Natsir Presentasikan Karya Buku

STIDNATSIR.AC.ID – Mahasiswa STID Mohammad Natsir asal Depok, Azzam Habibullah (20) mendapat kesempatan mempresentasikan karya tulisnya yang berjudul, “Kritik Terhadap Konsep Netralitas Ilmu” kepada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Jumat (18/2/22) secara daring dalam forum Dialektika Baitul Hikmah yang diselenggarakan oleh Kerjasama antara Masjid Baitul Hikmah dan BRIN. Turut hadir Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi dan Informasi BRIN, Dr. Dudi Hidayat, Peneliti BRIN dan Pengurus Masjid Baitul Hikmah, Agus F. Syukuri, Ph.D, serta para peneliti lainnya.

Azzam mengaku senang diundang untuk mempresentasikan karya tulisnya di hadapan para peneliti BRIN. Kesempatan mahal ini, akan dijadikan motivasi bagi dirinya untuk lebih semangat dalam mengkaji pelbagai wawasan. Buku “Kritik Terhadap Konsep Netralitas Ilmu” merupakan buku kelima yang ditulis oleh Azzam. Tujuan ia menulis buku ini, ialah sebagai pemantik kaum muda generasi milenial agar berani berbicara mengenai konstelasi pemikiran-pemikiran para ilmuwan yang stigmanya hanya layak didiskusikan oleh orang dewasa. Mahasiswa STID Mohammad Natsir peraih Ashoka Young Change Makers 2021 ini juga mengajak generasi milenial untuk meningkatkan daya literasi agar kritis terhadap isu-isu dan pemikiran yang berkembang.

Latar belakang Azzam menulis buku ini ialah ketika ia menghadiri diskusi umum yang diselenggarakan di gedung Dewan Kesenian Jakarta, salah seorang panelis mengatakan bahwa seluruh anggota tubuh manusia harus terbebas dari kekangan dogma dan kepercayaan. Dengan kata lain harus berjiwa bebas dan Netral.

Ia memulai pemaparannya dengan mengemukakan definisi Netralitas Ilmu  menurut Ilmuwan. Menurut para ilmuwan, ilmu itu value-free, bebas dari otoritas apapun. Selain itu, ilmu memberikan jarak kepada aspek yang dianggap berada di luar dirinya berupa keyakinan, dan ilmu harus memihak pada dirinya sendiri (independen). “Jika demikian, maka ilmu akan bersifat subjektif dan tidak ada nilai humanisme dalam ilmu (dehumanisasi ilmu),” timpal mahasiswa yang pernah menjadi delegasi Indonesia untuk CEI Conference di USA, Australia dan Turki itu.

Asal mula konsep Netralitas Ilmu bermula pada gejolak epistemilogis rasionalisme dan positivisme. Kaum rasionalis dan positivis saling menuding subjektif satu sama lain, sehingga timbulah silang pendapat hingga pertengkaran pemikiran, hingga berakhir pada kemenangan kaum positivisme.

Perkembangan konsep netralistis ini kemudian memicu banyak problem, di antaranya adalah konflik antara ilmuwan dan otoritas gereja seperti kasus Galileo Galileo dengan teori heliosentrisnya menentang aksioma teori alam semesta otoritas gereja saat itu. Problem lainnya ialah timbul dorongan untuk mengalihkan tafsir agama dari teosentris (berdasarkan agama) menjadi antroposentris (berdasarkan kondisi sosial). Implikasinya, lahirlah para penafsir Liberal dan Sekuler bersorban ulama.

Lebih lanjut, konsep Netralitas Ilmu dapat merekonstruksi tatanan dunia intelektual antara lain, ketidakselarasan hubungan subjek-objek dalam ilmu, penolakan aspek metafisika dalam ilmu, yang dianggap ilmu adalah ilmu yang tampak secara saintifik saja, hingga munculnya ilmu sekuler. A.J. Ayer, salah satu saintis netralistis mengaku alasannya menjadi atheis ialah agar dalam aktivitas penelitian tidak ada intervensi dari tuhan, malaikat dan iblis. Oleh sebab itu saintis harus atheistis.

Setelah menjabarkan secara gamblang mengenai motif dan dampak Netralitas Ilmu, selanjutnya Azzam mengutarakan kritik-kritik para ilmuwan terhadap pemikiran ini. Otonomi ilmu mengaburkan tujuan akhir dari ilmu itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang filsuf dan sosiolog Jerman, Jurgen Habermas, bahwa ilmu pengetahuan dan kepentingan tidak semestinya terdikotomi, karena akan terjadi kebutaan ilmuwan atas kepentingan sesungguhnya dari suatu penelitian. Selain itu, fenomena pembaratan terhadap ilmu sudah marak sejak dahulu. Salah satu upaya Barat memajukan supremasinya adalah kulit putih bersikap rasis pada kulit hitam untuk menghilangkan eksistensinya, demikian juga dengan ilmu. Barat sengaja menegasikan ilmu metafisika seperti Tauhid dan sebagainya, untuk menghilangkan eksistensi tuhan dan agama.

Sementara, Syed Muhammad Naquib Al-Atas mengatakan, menilik Hikmah Surat Al ‘Alaq ayat 1-5, bahwa alam sebagai sumber ilmu adalah tanda-tanda kebesaran Allah, maka di antara tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah. Prof. Al Atas juga mengatakan, mengkaji ilmu tidak bisa mengkaji tandanya saja tanpa mengkaji sumbernya (Allah). Tuhan adalah sumber ilmu, Ia tidak objektif atau setidaknya berada di luar subjektivisme manusia. Maka ilmuwan bukan hanya menerima ilmu tanpa daya (kritis), tapi datang dan memiliki kesadaran.

Selanjutnya, Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi dan Informasi BRIN, Dr. Dudi Hidayat selaku pembahas mengaku bangga dan mengapresiasi buku karya mahasiswa STID Mohammad Natsir tersebut, menurutnya terbilang langka anak muda yang memiliki kepedulian terhadap dunia pemikiran dan berdaya literasi tinggi. Beliau juga menawarkan dan berharap suatu hari nanti Azzam dapat bergabung sebagai peneliti di BRIN.

Selanjutnya ia mengomentari isi buku “Kritik Terhadap Konsep Netralitas Ilmu”. Dr. Dudi mengatakan bahwa perlu dibedakan antara Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Ilmu Alam bersifat baku, seperti batu yang jatuh tidak bisa mempengaruhi dirinya. Sementara Ilmu Sosial terkait manusia, bersifat dinamis. Setiap manusia punya keputusan berbeda dalam bertindak.

Ilmu Alam walaupun netralistis, namun memiliki degree nya. Ilmuwan atheis pun jika mengkaji dengan prinsip-prinsip keilmuan, maka akan mencapai pada kesimpulan ilmu. Selain itu, terkait ilmu bersifat value-free, telah banyak para ilmuwan yang membahas hal ini dalam berbagai diskursus. Kesimpulannya, ilmu bukan value-free tapi value-laden (luas nilainya).

Senang tidak senang, perlu diakui ilmu sosial masyarakat Barat lebih maju dari masyarakat muslim sekarang, meski bukan tanpa cacat. Jika Ilmu sosial Barat “berdialog” dengan wahyu, maka akan muncul suatu peradaban yang luar biasa. Menyetujui ilmu sains yang sudah pasti tanpa melibatkan ilmu agama, maka kebenarannya tidak akan lengkap. Oleh sebab itu, apapun ilmunya harus tetap dikaitkan dengan ilmu agama. [FR]

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*