Fiqh Dakwah (Bag. 1)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat. Amma ba’du:

Berdakwah atau mengajak manusia kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala hukumnya fardhu kifayah di setiap waktu dan setiap tempat. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Terj. QS. Ali Imran: 104)

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Dakwah (hukumnya) fardhu kifayah; apabila sudah ada yang melakukannya maka yang lain tidak terkena kewajiban itu, dan dakwah bagi yang lain hukumnya menjadi sunnat mu’akkadah (sangat ditekankan) serta sebagai amal saleh yang mulia.”

Keutamaan Dakwah dan Ruang Lingkupnya
Berdakwah termasuk ibadah yang utama dan besar pahalanya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Terj. QS. Fushshilat: 33)

Syaikh As Sa’diy berkata tentang ayat ini, “Ini merupakan pertanyaan yang mengandung penafian yang tetap, yaitu tidak ada seorang pun yang lebih baik perkataannya; maksudnya ucapan, jalan dan keadaannya, dibanding orang yang mengajak manusia kepada Allah, dengan mengajarkan orang yang tidak tahu, menasehati orang yang lalai dan berpaling, mendebat orang yang batil dengan menyuruh beribadah kepada Allah dengan berbagai macamnya, mendorong untuk itu serta memperbaiki ibadah tersebut sesuai kemampuan, dan melarang orang lain dari mengerjakan larangan Allah, memunjukkan keburukan perbuatan tersebut dengan berbagai cara agar dapat ditinggalkan.

Yang lebih khusus lagi adalah mengajak manusia ke dalam agama Islam, memperbaiki citranya dan membantah musuh-musuh Islam dengan cara yang baik, melarang kebalikannya berupa perbuatan kufur dan syirk, beramr ma’ruf dan bernahi munkar. Termasuk berdakwah kepada Allah adalah membuat manusia mencintai Allah dengan menyebutkan secara rinci nikmat-nikmat-Nya, kepemurahan-Nya yang luas dan rahmat-Nya yang lengkap serta menyebutkan sifat-sifat sempurna-Nya dan sifat-sifat agung-Nya. Termasuk berdakwah kepada Allah adalah mendorong manusia mengambil ilmu dan petunjuk dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, mendorong kepadanya dengan berbagai cara yang bisa mengantarkan kepadanya.

Termasuk pula mendorong berakhlak mulia, berbuat baik kepada manusia secara umum, membalas keburukan dengan kebaikan, memerintahkan bersilaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Termasuk pula memberi nasihat kepada manusia secara umum pada waktu-waktu tertentu, pada momen-momen tertentu dan saat datang musibah sambil menyesuaikan dengan keadaan, dan lain sebagainya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, di mana hal tersebut termasuk ke dalam mengajak kepada kebaikan di samping memperingatkan terhadap semua keburukan.” (Lihat Taisirul Karimir Rahman pada tafsir surat Fushsilat ayat 33).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda menerangkan keutamaan orang yang berdakwah:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barang siapa yang menunjukkan kepada petunjuk, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka, dan barang siapa yang menunjukkan kepada kesesatan, maka ia akan menanggung dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka. “ (HR. Muslim)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, jika seseorang mendapatkan hidayah melalui kamu itu lebih baik daripada kamu mendapatkan unta merah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Unta merah adalah harta paling berharga orang Arab pada waktu itu.

Di samping itu, dengan dakwah seseorang akan memperoleh martabat yang tinggi, Syaikh As Sa’diy rahimahullah berkata, “Dan tingkatan ini –yakni tingkatan dakwah- sempurnanya adalah untuk para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya), di mana mereka beramal untuk menyempurnakan diri mereka dan menyempurnakan orang lain, dan mereka mendapatkan warisan yang sempurna dari para rasul.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, dakwah ilallah adalah kedudukan yang paling mulia bagi seorang hamba, paling besar dan paling utama.”

Bentuk Dakwah
Dakwah ada yang mujmalah (secara garis besar) dan ada yang mufashshalah (secara terperinci). Dakwah yang mujmalah dapat dilakukan oleh seorang muslim yang mengerti ajaran Islam secara garis besar, seperti dakwahnya kepada non muslim dengan diberitahukan kepadanya ajaran Islam secara garis besar. Contoh ajaran Islam secara garis besar adalah perintah Allah di ayat ini:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal) dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Terj. QS. An NIsaa’: 36)

Ada pula dakwah yang mufashshalah (secara terperinci), seperti yang dilakukan ulama yang mengerti ajaran Islam secara terperinci. Seorang muslim yang tidak mengerti ajaran Islam secara terperinci dapat mengajak mad’unya (orang yang didakwahi) kepada ulama yang mengerti ajaran Islam secara terperinci.

Singkatnya, dakwah yang dilakukan seorang muslim sesuai dengan kemampuannya.

Bekal Seorang Da’i
Bekal yang perlu disiapkan seorang da’i (juru dakwah) dalam berdakwah adalah sebagai berikut:

1. Memiliki ilmu dan mengamalkannya
Perlu diketahui, bahwa sebelum berdakwah, seseorang harus memiliki ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut. Demikianlah keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; di mana Beliau diutus Allah di atas hudaa (ilmu) dan diinul haq (amal saleh), Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (Terj. QS. Ash Shaff: 9)

Mendahulukan ilmu kemudian amal adalah manhaj (jalan yang ditempuh) oleh para nabi dalam berdakwah, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

“Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (Terj. QS. Yusuf: 108)

Bashirah atau hujjah yang nyata di sini adalah ilmu yang yakin; yang tidak disusupi syubhat dan keraguan, ilmu ini tegak di atas dalil naqli (Al Qur’an dan As Sunnah). Oleh karena itu, hendaknya seorang da’i benar-benar paham dan yakin dengan ilmu yang diketahuinya serta mengamalkannya.

Di antara ulama ada yang menafsirkan bashirah di ayat tersebut dengan memiliki ilmu terhadap tiga perkara:
1. Memiliki ilmu terhadap dakwah yang diserukannya.
Oleh karena itu, seorang da’i tidak berbicara kecuali jika diketahuinya bahwa hal itu benar, atau menurut perkiraannya yang kuat bahwa seruannya benar, jika memang yang diserukan itu masih dalam perkiraan. Adapun jika ia berdakwah di atas kejahilan, maka kerusakan yang diakibatkan masih jauh lebih besar daripada perbaikan yang dilakukannya.
2. Mengetahui kondisi mad’u (orang yang didakwahi).
3. Mengetahui uslub (cara) berdakwah.

Mengetahui kondisi mad’u dimaksudkan agar para da’i dapat memposisikan manusia pada tempatnya. Tidak mungkin seorang da’i menyamaratakan antara berdakwah kepada orang yang masih awam sama sekali dengan yang sudah mengetahui, namun tetap berpaling. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[i], dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (Terj. QS. Al ‘Ankabut: 46)

Terhadap orang-orang yang zalim, maka kita tidak membantah dengan cara sama dengan yang lain, bahkan membantah mereka dengan cara yang layak bagi mereka.

Demikian juga seorang da’i harus mengetauhui uslub (cara) berdakwah. Apakah dalam berdakwah ia menampakkan kekerasan dan kemarahan serta mengkritik langsung aliran yang mereka ikuti ataukah dalam berdakwah kepada manusia ia menampakkan kelembutan serta menghias seruannya agar mereka mau menyambutnya tanpa perlu menyudutkan langsung aliran mereka? Perhatikanlah firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada Nabi-Nya dan sekaligus kepada hamba-hamba-Nya, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. ” (Terj. QS. Al An’am: 108)

Kita semua mengetahui, bahwa memaki sesembahan kaum musyrik adalah perkara yang diperintahkan, karena memang penyembahan kepada mereka adalah hal yang batil, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Terj. QS. Al Haj: 62)

Memaki hal yang batil dan menerangkan kebatilannya di tengah-tengah manusia adalah perkara yang diperintahkan. Akan tetapi, apabila yang demikian dapat menimbulkan mafsadat yang lebih besar, padahal masih ada cara lain untuk menyingkirkan kebatilan itu maka memaki sesembahan tersebut dilarang.

Berdasarkan hal ini, apabila seorang da’i melihat orang lain berada di atas kebatilan, namun orang itu menyangka dirinya benar, maka bukan termasuk cara dakwah yang diajarkan Allah kepada Rasul-Nya mengkritik langsung apa yang dipegangnya itu, karena yang demikian dapat membuatnya menjauh, bahkan terkadang membuatnya mengkritik kebenaran yang ada pada da’i tersebut.

Cara yang benar adalah menerangkan kebenaran dan menjelaskannya, karena kebanyakan manusia –terutama kaum muqallid (yang ikut-ikutan)- tertimpa kesamaran terhadap kebenaran disebabkan hawa nafsu yang dominan dan taqlid (ikut-ikutan). Kita yakin, bahwa kebenaran akan diterima oleh fitrah yang masih selamat, dan lambat laun kebenaran ini akan mewarnai pikirannya dan membekas di hatinya. Kita tidak mengatakan bahwa pengaruhnya segera, karena merubah hati manusia tidak semudah membalikan tangan, bahkan biasanya pengaruhnya akan tampak setelah beberapa lama.

Di samping hal di atas, seorang da’i harus sudah mengamalkan ilmunya. Janganlah ia seperti lilin yang menerangi sekitarnya namun dirinya habis terbakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الَّذِيْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَ يَنْسَى نَفْسَهُ مَثَلُ الْفَتِيْلَةِ تُضِيء ُلِلنَّاسِ وَ تُحَرِّقُ نَفْسَهَا
“Perumpamaan orang yang mengajar kebaikan kepada manusia, namun ia melupakan dirinya sendiri adalah seperti sebuah sumbu, ia menerangi manusia sedangkan dirinya sendiri terbakar.” (HR. Thabrani dari Abu Barzah dan Jundab, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 5837)

Bersambung…

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalaah.

Marwan bin Musa
Maraaji’: Zaadu Daa’iyah (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Silsilah Ta’limil Lughatil ‘Arabiyyah (mustawa 4 tentang Uslub dakwah), Ta’aawunud du’aat (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Ad Da’wah Ilallah (Syaikh Ibnu Baaz), Taisirul Karimir Rahman (Syaikh Abdurrahman As Sa’diy), Tafsir Al ‘Usyril Akhir wayaliih ahkaam tahummul muslim, Maktabah Syaamilah, Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah, dll.

[i] Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim adalah orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan dan penjelasan dengan cara yang sangat baik, tetapi mereka tetap membantah dan membangkang serta tetap menyatakan permusuhan.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*