Renungan Untuk Para Pelaku Dosa

Detik jam masih berdenting, jam pasir pun masih setia menurunkan pasir-pasir halusnya sesuai dengan waktu yang ditentukan, bahkan mentari pun masih setia untuk terbit di ufuk timur dan terbenam di belahan bumi bagian barat.

Banyak hal yang membuat manusia lalai dan tidak sadar. Mereka abaikan kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah. Mereka lupa dengan ungkapan syukur, dan tidak ingat dengan ungkapan “Hukum Allah masih berlaku di bumi ini.”

Apa yang membuat manusia lalai adalah didapatinya dalam kehidupan mereka gunungan kenikmatan yang bagi Allah bagaikan setitik tinta putih di atas sebuah kain hitam. Mereka hanya melihat dengan mata telanjang, mereka lupakan lensa kekuasaan yang Allah anugerahkan khusus bagi hamba-Nya yang berserah diri. Mereka tidak melihat dengan lensa itu, hingga mereka lupa bahwa apa yang mereka pandang hanyalah sebuah pecahan kecil, sebuah remahan dari suatu kekuasaan yang Allah miliki untuk menganugerahkan suatu kenikmatan pada manusia.

Jika mata ini tertutup, bayangan dosa atas kejahatan yang baru saja dilakukan oleh personal masih terekam jelas. Entah itu disengaja maupun tidak, diinginkan ataupun tidak, apa yang telah terjadi tidak mampu ditarik kembali. Kalaupun mata ini terbuka bayangan dosa atas kejahatan yang baru saja dan terus dilakukan oleh manusia masih terpatri jelas baik itu dalam mata, hati dan juga pikiran.

Bingung, jika harus menjawab sebuah pertanyaan, “kemana kau akan lari?”. Gelagapan saat tiba-tiba sang Azab langsung menerkam didepan mata, saat aku diam, sikap itu akan mempercepat sang takdir menyelesaikan tugasnya. Kalau aku berlari, sang azab tidak akan merasa kewalahan untuk bisa menangkapku. Jikalau aku sembunyi, tak ada satu benda pun yang bersedia menyembunyikan diriku dari kejaran sang takdir.

Lantas, kemana harus ku pergi? Haruskah aku membuat sebuah lubang? Atau mempankah kiranya jika ku lemparkan kenikmatan dari Allah ini, kepada sang takdir dengan timbal balik ia harus berhenti mengincarku. Aku belum ingin mati, namun bisakah takdir diajak untuk bernegosiasi?. [Sri Rahayu]

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*