Ramlan Mardjoned: Kesan Saya, Pak Natsir itu Orangnya Lembut

Ketika bapak-bapak itu bertugas, saya diambil Pak Prawoto, beliau adalah Ketua Umum Partai Masyumi terakhir. Dalam satu muktamar beliau terpilih menjadi ketua, beliau berkata, “Natsir di manapun engkau berada, engkau ada di dalam hatiku”, waktu itu Pak Natsir sudah di hutan. Begitulah eratnya persahabatan keduanya. Natsir pergi dia lanjutkan perjuangan. Meneruskan perjuangan. Ketika Bapak-bapak bebas langsung berusaha merehabilitasi Masyumi, ketika Masyumi membubarkan diri, bapak-bapak  mengajukan ke Pengadilan Tinggi.

Artinya bapak-bapak pemimpin Masyumi itu orang yang taat hukum. Ketika dia keluar, dia tidak semena-mena. Kirim surat rehabilitasi kepada Pejabat Presiden. Mengerjakannya itu di rumah Pak Prawoto, dan Pak Natsir suka ke rumah beliau.

Ketika bapak-bapak rapat, saya yang membuatkan air minum. Kalau terus sampai siang saya pergi membeli nasi bungkus, Bu Prawoto bilang:”Ramlan layani sebaik-baiknya ya.” yang hadir waktu itu biasanya Pak Natsir, Pak Burhan Harahap, Pak Syafruddin Prawiranegara, Pak Kasman Singodimejo, Pak KH. Faqih Usman, Pak Anwar Haryono. Yang membantu pekerjanya itu adalah Pak Hasan Basri, Pak Muhammad Sulaiman. Dan yang membantu mengetik yaitu Pak Maijir Ahmadin.

Pak Maijir Ahmadin itu aslinya adalah orang Kalimantan Barat, karena sama-sama berasal dari Kalimantan Barat dia sering memperhatikan saya, “Ramlan bantu Pak Prawoto”, ucapnya pada saya. Saya membantu Pak Prawoto. Saya ngepel, nyiapin air, menyiapkan makan, itulah kerja saya, Saya biasa masuk jam 8 pagi, kalau saya datang Pak Natsir sering kali sudah ada. Dan Pak Natsir lihat saya nyapu, ngepel. Akhirnya Pak Natsir mengatakan, “Prawoto, Ramlan kerjanya di sini kapan?”, “Selasa dan Kamis, jam 8 sampai jam 1 siang”, kata Pak Prawoto. “Sepulang dari sini, saya minta Ramlan di rumah saya, selain Selasa dan Kamis. “Ramlan di rumah saya dari jam 8 sampai jam 1 siang”, kata Pak Natsir. Begitu aja, nggak diajak ngomong dulu, saya anggap ini perintah pak Natsir.

Di rumah Pak Prawoto kan suka ada koran, saya baca. Nanti kalau sudah jam satu  saya ditanya, “Tadi Ramlan baca Koran, tajuknya gimana?”, saya harus bisa menceritakan itu. Ini pendidikan dari dia. Sekarang nggak ada orang yang mau tanya begitu. Terkadang dalam waktu lain Pak Natsir bilang, “Coba kau tulis”.

Saya pergi ke rumah Pak Natsir setelah jam satu. Jalan kaki dari Menteng ke rumah Pak Natsir, “besok jam enam Ramlan datang ya,” kata Pak Natsir. Besoknya saya datang, di meja Pak Natsir itu sudah ada nota-nota apa yang harus dilakukan, tiga atau empat. Pak Natsir itu sebelum jam enam sudah kerja. Ketika kerja saya suka dipanggil, sehari itu bisa sepuluh sampai dua puluh surat.

Ada anak SMA dari Banjarmasin yang bertanya melalui surat, “Bagaimana Bapak bisa menjadi pemimpin yang terkenal di Indonesia dan di Dunia?”. Itu dijawab, “Ananda saya berterima kasih ananda masih di tingkat menengah atas telah membaca tentang Indonesia dan dunia Islam, jika ananda ingin tampil menjadi pemimpin maka pertama ananda harus rajin membaca, ananda harus rajin berkumpul dalam forum pengajian dan diskusi. Wasalam Bapak”. Sependek itu, anak SMA bertanya dijawab.

Jadi ketika di Pak Natsir itu saya harus disiplin, jam enam sudah harus datang, pulang bisa jam  10 atau 11. itu sampai tahun 80 an. Sudah itu, Pak Natsir mulai diminta Prof. Nurhai untuk banyak istirahat, karena Pak Natsir itu mendapat serangan jantung tahun 1971. Ketika pulang kerja beliau bilang, “Bapak pusing nih, tlng Ramlan pijit ya”. “Kok Bapak basah dengan keringat Pak?”, jawab saya. “Iya”, jawab Pak Natsir. Lalu saya gotong Pak Natsir, saya baringkan di bawah. Kemudian Pak Bukhari menelepon Nurhai. Datanglah Nurhai dengan ambulance. Maka Pak Natsir dibawa ke rumah sakit Cipto. Bapak itu perokok, sesudah kejadian itu berhenti merokok.

Begitu dia bebas, ada rumah kecil di Blora sana. Kami berkantor di Cikini 95, rumah Pak Idip Junaedi. Di rumah Pak Idip ini juga dokter-dokter Cipto suka kumpul ngaji. Dosennya Pak Usman Raliby, Pak Natsir, Pak Rasjidi, Pak Abidin Ahmad, Pak Yunan Nasution.

Di Kramat, Ikatan Masjid Jakarta suka diadakan pertemuan khatib-khatib dan pengurus masjid, kalau menyambut Ramadhan, mengakhiri Ramadhan, 17 Ramadhan, Idul Adha, bahkan menyambut Agustusan. Pak Kiai Taufik Rahman adalah ketua Ikatan Masjid Jakarta. Dari pertemuan ini, munculah ide untuk meningkatkan dakwah. Maka berkumpulah para ulama, da’i dan khatib di Masjid al-Munawwarah pada 26 Februari 1967. Disitulah disimpulkanlah untuk mendirikan DDII. Setelah itu oleh Masjid al-Munawarah, DDII dikasih pojok kecil sekali.

Mulailah Pak Natsir kebagian jadwal ceramah Ahad Subuh. Kalau sudah ceramah, disalinlah oleh pak Nurdin Ali. Ditunggu oleh Pak Bukhari, kemudian saya yang ngetik. Salinan ini kemudian diperbanyak dan orang berebut. Maka kemudian frekuensi ceramah Pak Natsir diperbanyak. Diambilah Hasanul Arifin, guru madrasah al-Munawwarah. Dia jago ngetik, jadi yang ngetik dia tidak saya lagi. Lalu diambilah Fauzi Syahidan, kami menstensil ceramah Pak Natsir, sampai 2000 an hingga stensil itu tidak bisa lagi diulang karena pecah-pecah. Saking seringnya menstensil, tangan Fauzi ini bengkak-bengkak. Permintaan luar biasa waktu itu. Hidup suasana waktu itu.

Pertama kali bertemu Pak Natsir, kesan saya, orangnya lembut, ngomongnya juga lembut. Kalau lagi rapat, bapak-bapak itu bisa sampai angkat-angkat tangan, mukul-mukul meja, mereka berdebat hebat, tapi Pak Natsir tenang. Setelah Pak Natsir menyimpulkan semua tenang dan orang berjalan dengan kesimpulan itu. Keluar dari rapat sama semua sikap Bapak-Bapak itu. Kalau tidak ada Pak Natsir yang membuat kesimpulan itu Pak Prawoto. Beliau juga orangnya lembut. Di masa Pak Natsir, orang bisa berdebat di dalam ruangan, sampai nuding-nuding(tunjuk-tunjuk tangan), tapi begitu selesai dan Pak Natsir sudah membuat keputusan, semuanya sama.

Pak Natsir itu kalau ada orang datang ke ruangannya dia jemput. Selesai orang itu bicara dia antar sampai pintu.

Pak Natsir sering berkunjung ke daerah. Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Tapi Pak Natsir paling suka kalau berkunjung ke Jawa Timur. Kegiatannya biasanya peletakan batu pertama untuk pembangunan local, klinik, pesantren, masjid. Atau membuka local. Ada satu desa yang diberi nama Baldatun Thoyyibah. Kami Bapak, Ummi dan saya berjalan. Kemudian Pak Natsir bilang: “Ummi capek?, Ramlan capek?”, “Iya pak”, jawab saya. “Ya sudah, Ramlan temani Ummi di sini ya”. Saya Tanya, “Bapak kalau jalan capek tidak?”. “Ya capek tapi ummat yang membangun ini membuat hati senang, obat buat saya”.

Satu saat Pak Natsir berbicara di gedung Pancasila. “Kita membangun Jakarta menjadi kota metropolitan dengan Ngalo dan Loto”. Itu judi, yang dibangun Bang Ali. “Ibarat kisah seorang perempuan di dalam al-Quran, malam dia berhias, siang dia uraikan lagi”.  Dijawab oleh Bang Ali, “Kalau ada orang yang tidak mau berjalan di Jakarta karena dibangun dengan judi, pindah ke Bandung”. Ini menyindir Pak Natsir yang di didik oleh Tuan Hassan di Bandung. Saya katakan kepada Pak Natsir, “Ini jawaban Bang Ali seperti ini beritanya, perlu dijawab nggak?”. “Nggak usah dijawab, tungkas Natsir. Beliau berkata lagi, Ramlan harus tahu bedanya antara tentara dan da’i? Tahu nggak bedanya?”. “Tentara kalau mau merebut satu wilayah biar hancur, membangunnya kemudian. Tetapi da’i ketika merebut satu wilayah tidak boleh ada yang hancur. Da’i harus bertahta di hati ummat”. Itu diucapkannya pada tahun 1967. Saya buktikan setelah Pak Natsir menandatangani petisi 50. “Sekarang ini kita kehilangan keteladanan, seperti keteladanan yang ada pada Pak Natsir. Dia guru saya, dia ayah rohani saya dan dia pemimpin saya “, kata Bang Ali  ketika menyampaikan petisi 50 di DPR. Kalaulah dulu Bang Ali yang saat itu terkenal angkuh dijawab Pak Natsir yang seorng da’i dengan kasar juga tidak akan ada pengakuan ini.

Bang Ali itu kalau hari raya ke rumah Pak Natsir, berjam-jam. Asyik ngomong. Kalau ada tamu datang Bang Ali yang menjemput dan mengantarnya ke ruangan Pak Natsir. Lima belas tahun saya membuktikan ucapan Pak Natsir bedanya da’i dengan tentara. Da’i harus bertahta di hati ummat.

Suatu saat tekanan darah Pak Natsir sudah di bawah 40 tetapi beliau masih bisa berkomunikasi. Kalau orang biasa sudah tidak kuat.

Pelajaran yang dapat diambil oleh genersai muda adalah akhlaq Pak Natsir sangat terpuji. Pantun yang suka dipakai Pak Natsir itu, “Masih ada kemungkinan sembuh bila pedang melukai tubuh, kemana hendak dicari obat bila lidah melukai hati”. Ada orang yang bertanya kepada saya, bagaimana hubungan Pak Natsir dengan Pak Harto, saya katakan setiap Hari Raya Pak Natsir selalu berkunjung kepada Pak Harto di rumahnya. Tapi setelah itu bapak-bapak bicara, “Kita ke sana hanya salaman dan minum teh, tidak ada pembicaraan”. Pak Natsir tidak punya dendam. Di zaman Pak Karno Pak Natsir dibungkam sedemikian rupa, tapi tidak pernah ada umpatan kepada Bung Karno. Yang menarik adalah mengenai poligami. Pak Natsir membela poligami, Pak Karno menyerang poligami, tapi yang melakukan poligami adalah Pak Karno, Pak Natsir tidak. Yang dibela Pak Natsir adalah Allah dan Rasulullah.  Yang dibela Bung Karno siapa?.

Ketika sakit saya sering mengetikan untuk Pak Natsir, beliau mendiktekan. Kalau sudah cape, saya pijit Pak Natsir. Kata-kata Pak Natsir itu sangat lembut. Tidak pernah berkata kasar apalagi mengejek, termasuk kepada lawan-lawannya seperti Pak Karno dan Pak Harto. Kemudian silaturrahim, Pak Natsir sangat menjaga itu, ia sering ngajak kami berkunjung ke Hamka, Kiai Masykur, Kiai Abdullah Syafi’i. dan Pak Natsir itu menutup betul aib orang. Kita mengerti Pak Natsir tidak senang kepada beberapa orang, tapi itu tidak pernah dikeluarannya, tidak pernah digunjingkannya.

Suatu saat ketika menjelang perkawinan Hasna, anak ketiganya. Satu hari sebelumnya Pak Natsir tetap bekerja di al-Munawarah. Sampai jam 10, ummi telepon, “Bapak pulang besok mau menghadapi perkawinan Hasna”. Akhirnya jam 11 kita pulang naik becak.

Saya tidak pernah mendengar Pak Natsir bilang tidak, sepanjang ada pasti dipenuhi.

Suatu saat ada orang sakit, pucat wajahnya. Oleh bapak dituliskan surat kepada Pak Ali Akbar, seorang dokter. Diantar surat itu. Ini ada surat dari DR. Mohammad Natsir. Maka diperiksa orang itu dan dikasih duit pula untuk beli obat. Jadi Pak Natsir, orangnya seperti itu.

 

*Wawancara dengan H. Ramlan Mardjoned

Pada  bulan Juli 2008 di ruang kerja beliau lantai 2 Gedung Dewan Da’wah

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*