Dua Mutiara Hikmah Dari Masa Taaruf Mahasiswa STID Mohammad Natsir

 

Oleh: Fatih Madini (Mahasiswa STID Muhammad Natsir)

Rabu, 24 Februari 2021, kami bertujuh selaku mahasiswa baru, baru saja menghadiri MASTAMA (Masa Ta’aruf Mahasiswa Baru) Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir (STID) prodi Komisi Penyiaran Islam (KPI) bagian jurnalistik. Acara tersebut berlangsung di Gedung DDII Jakarta Pusat, Jl. Kramat Raya.

Ada enam hal yang hendak disampaikan oleh dosen-dosen di sana sejak pukul 09.00 sampai 15.30. Mulai dari paparan singkat profil STID, sosialisasi bidang akademik, kemahasiswaan, administrasi dan program studi KPI, sampai kepada ulasan umum tentang keteladanan pendiri DDII, M. Natsir.

Tulisan ini tidak bermaksud menjabarkan keenam hal tersebut. Hanya saja, bagi penulis sendiri, setidaknya ada dua hal yang sangat penting untuk disampaikan. Harapannya, tentu saja semoga sama-sama dapat kita petik ibrah serta hikmah dari keduanya.

Pertama, seputar paparan singkat profil STID yang disampaikan oleh Dr. Dwi Budiman Assiroji. Kalam pembukanya mengatakan bahwa STID bukan sekadar lembaga pendidikan tapi juga kaderisasi da’i yang berbasis pada iman, taqwa, akhlak mulia (sebagaimana yang juga tercantum dalam Tujuan Pendidikan Nasional pasal 31 ayat 3), dan ilmu.

Sebagaimana inti dari Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, dan Pengabdian Kepada Masyarakat), sebelum berdakwah atau mengabdi pada masayrakat, setiap mahasiswa perlu bekal keilmuan yang cukup. Tanpanya, dakwah hanya menjadi serampangan dan akan selalu menemui kegagalan.

Tujuan dari kaderisasi tersebut adalah demi menjaga keutuhan umat dan bangsa, Islam dan Indonesia yang menurutnya ibarat satu tarikan nafas. Itu artinya, kehadiran da’i bukan sebagai rahmat bagi umat Islam saja, tapi rahmatan lil ‘alamin. Di samping itu, ia juga mengingatkan bahwa ukuran dakwah itu bukan hasil, bukan seberapa banya pengikut. Sebab, kalau itu tujuannya, maka Nabi Nuh dan Luth termasuk yang gagal. Tegak dan konsistensinya seseorang dalam berdakwah, itulah tolak ukur dari keberhasilan dan kemenangan dalam berdakwah, ujarnya.

Kedua, terkait dengan ulasan ringkas mengenai keteladanan M. Natsir oleh Dr. Imam Zamroji. Menurutnya, ada tiga hal yang penting untuk diteladani: Pertama, tatakala Mohammad Natsir lebih memilih untuk terjun ke tengah umat demi menyelesaikan berbagai problematika di dalamnya dan belajar kepada tiga guru utamanya: A. Hassan, Agus Salim, dan Ahmad Surkati, ketimbang mengambil beasiswanya ke perguruan tinggi Belanda jurusan Ilmu Hukum (Lebih jauh, lihat Ajip Rosidi, M. Natsir: Sebuah Biografi, 1990: 70-76).

Kedua, mengenai luar biasanya visi akhirat pendiri PENDIS (Pendidikan Islam) itu. Alasan mengapa hal ini menarik untuk diteladani adalah karena ia membahas hal ini di awal-awal buku Fiqhud Dakwah-nya (berbeda dengan buku fiqhud dakwah pada umumnya). Menurut wakil ketua umum DDII itu, hal tersebut bukan tanpa maksud, melainkan ia hendak memberi pesan kepada semua da’i bahwa, setiap pendakwah akan selalu mempunyai jiwa yang tangguh dan keistiqomahan dalam menjalani aktivitas dakwahnya selama visinya selalu ia tujukan untuk akhirat.

Hal ini kemudian menular ke murid-muridnya, bahkan yang pernah menjabat sebagai wakil ketua Bupati sekalipun. Dalil pamungkasnya adalah surat al-Qashash ayat 77. Dimana ayat itu hendak memberi pesan supaya orientasi utama setiap manusia adalah akhirat dan yakin bahwa rezeki itu datang dari Allah. Melalui ayat ini, M. Natsir juga menegaskan bahwa seluruh karunia Allah harus dinikmati, namun jangan dijadikan tujuan hidup. Jadikanlah itu semua sebagai bekal dan sarana jitu untuk memanen hasil terbaik di akhirat kelak (Lebih jauh, lihat M. Natsir, Fiqhud Dakwah, 2017: 18-25).

Ketiga, terkait dengan ibadah sebagai satu-satunya tujuan hidup (QS al-Dzariyat: 56), yang juga ia sampaikan di awal-awal buku tersebut, tepatnya sesudah pembahasan tentang visi akhirat. Seakan-akan, lanjut Zamroji, ia hendak mempersembahkan semua usaha dan pencapaiannya dalam berdakwah kepada Allah semata. Maka tidak aneh jika penulis Capita Selecta itu dikenal sebagai da’i yang politisi bukan politisi yang da’i.

“Menyembah Allah s.w.t. berarti memusatkan penyembahan kepada Allah s.w.t. semata-mata, dengan menjalani dan mengatur segala segi dan aspek kehidupan di dunia ini, lahir dan batin, sesuai dengan kehendak Ilahy; baik sebagai orang perorangan dalam hubungan dengan Khaliq, ataupun sebagaianggota masyarakat dalam hubungannya dengan sesama manusia.” (2017: 25-29).

Begitulah dua hal yang menurut penulis perlu direnungi bersama dan diambil pelajaran. Acara ini sekaligus menjadi Langkah awal bagi kami bertujuh untuk kembali membuka lembaran baru dalam hidup ini. Semoga ke depannya, kami diberikan kemudahan dalam menjalani seluruh aktivitas pendidikan di kampus baru kami, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir.

Kamis, 25 Februari 2021
Cilodong-Depok

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*