KH. ACENG ZAKARIA, ULAMA PERSIS YANG TAWADLU

Oleh: Muhsin MK (Anggota Majlis Syuro Dewan Da’wah Jawa Barat)

 

Mukadimah

Mendapatkan hadiah buku dari Hadi Ramadhan, pegiat literasi pergerakan Islam, dalam kurun waktu setengah tahun, sebanyak empat judul. Pertama, dua buku tentang A. Hassan, ulama dan guru Persatuan Islam (Persis). Yakni, “Wahai Anakku dan Cucuku”, kumpulan tulisan A. Hassan, dan “Percik Pemikiran A. Hassan”, tulisan Nino Yudiar, MPd.I. Kedua, satu buku tentang “KH. Aceng Zakaria, Ulama Persatuan Islam”, dan “Al Furqan, Al Qur’an, Terjemah dan Tafsir”, oleh A. Hassan. Langsung saja buku Aceng Zakaria yang langsung dibaca, ternyata tentang biografinya.

Tulisan ini bukan untuk melakukan kritik terhadap buku itu, apalagi tentang ulama Persis dan penulisnya, melainkan sebagai refleksi dan ketertarikan penulis pada sosok ulama, Aceng Zakaria. Beliau tentu tidak dilihat hanya soal pribadinya, yang sudah mengenal dan melihat dirinya, baik langsung atau tidak, tetapi juga berkaitan dengan ilmunya yang luar biasa. Alat ukurnya bukan dari lisannya saat beliau memberikan kajian dan ceramah, apalagi belum pernah mendengar secara langsung saat beliau tampil dalam forum, melainkan dari karya tulisannya yang sedemikian banyak. Bahkan, bukunya yang terbit lebih banyak dari A. Hassan, ulama Persis pendahulu dan guru gurunya.

Hal inilah yang menjadi kekuatan sosok ulama Persis yang satu ini, sehingga menarik untuk ditulis, dalam rangka memberikan penghormatan dan penghargaan kepada dirinya, apalagi sebagai pemimpin Persis. Walau secara pribadi beliau orang yang tidak tertarik untuk diberikan penghormatan dan penghargaan duniawi, karena sikapnya yang tawadhu, rendah hati dan tidak mau menonjolkan diri.

Kyai Pesantren Persis

Di kalangan Persis, termasuk Muhammadiyah dan Dewan Da’wah, para tokoh, ulama dan pemimpinnya, rata rata tidak disebut kyai. Apalagi Aceng Zakaria, tampaknya akan lebih senang dipanggil ustadz dari pada kyai, walau hidupnya tidak terlepas dari dunia pesantren. Sekiranya dipanggil kyaipun tidak ada masalah. Apalagi beliau sebagai anak keturuan dari ajengan di Garut, yang rata rata memiliki pesantren di daerahnya, terlepas pesantrennya besar atau kecil. Dengan dunia pesantren beliau seakan sudah menyatu. Malah budaya pesantren tercermin dari dirinya, baik sikap dan perilakunya dalam lingkungan apapun.

Dua aspek yang menonjol dalam budaya pesantren. Pertama berkaitan dengan adab, akhlakul karimah, budi pekerja, sopan santun, ramah tamah, tawadhu, khusnuzhan, egaliter dan menghormati siapa saja orang orang yang berhubungan dengannya.

Kedua, berkaitan dengan ilmu dan kajian keilmuan tentang agama yang sedemikian mendalam, baik tentang bahasa dan tata bahasanya, dalam hal ini Bahasa Arab, maupun tentang berbagai aspek ajaran Islam yang dipelajari secara mendalam, serius dan disiplin. Tentu masih ada aspek aspek lain dalam budaya pesantren yang tidak dikemukakan disini.

Dua aspek ini, minimal, tercermin dari sosok dan pribadi Aceng Zakaria. Ini tidak terlepas, dari beliau mulai berada dalam lingkungan keluarga pesantren, keturunan orang orang yang mencintai dan berjuang melalui pesantren. Bahkan kemudian beliau masuk pesantren dan menjadi aktifisnya saat berada di pesantren, baik ketika masih di kampungnya, maupun setelah di kota. Baik pada saat masih belajar di pesantren tardisional di daerah Garut, dan kemudian masuk pesantren modern di Kota Bandung. Semua telah dilaluinya. Hal ini tidak banyak dialami para ulama yang aktif dalam pergerakan Islam modern. Kecuali dialami guru-gurunya di Pesantren Persis Pejagalan, diantaranya E.Abdurrahman, yang berasal dari lingkungan pesantren tradisional di daerah Cianjur.

Keberadaan kedua ulama Persis ini menjadi menarik, sehingga memberikan warna tersendiri dalam pergerakan jam’iyah Persis di Indonesia. Sebab murid dan guru ini tidak pernah mengecap pendidikan tinggi, namun keduanya memiliki wawasan ilmu dan keilmuan mumpuni, tak kalah dengan mereka yang bergelar profesor dan doktor. Keduanya kemudian mengalami, bisa sama sama menduduki posisi puncak dari kepemimpinan jam’iyah Persis, sebagai Ketua Umum Pusat Pimpinan (PP) Persis, pada periode yang berbeda. Hal ini dapat dikatakan bahwa gurunya, E. Abdurrahman, tidak hanya berhasil mewarisi adab dan ilmu kepada muridnya, tetapi juga kepemimpinan dalam gerakan Islam.

Tentu saja bagi Aceng Zakaria, jiwa dan bakat kepemimpinannya sudah tertanam dari orang tua dan kakeknya, yang dikenal sebagai pemimpin gerakan Islam pada zamannya. Di tambah lagi dengan pembinaan, penempaan dan kaderisasi yang ditanamkan oleh gurunya di Pesantren Persis Pejagalan dan dalam organisasi itu sendiri. Beliau beberapa kali menduduki jabatan dalam PP Persis pada periode sebelumnya. Semua itu merupakan proses pembinaan kepemimpinan yang sistematik dan memperkuat dirinya, sehingga beliau dalam keadaan siap saat dirinya mendapat amanah sebagai Ketua Umum PP Persis 2015-2020.

Bahkan kepemimpinannya pun sudah teruji, dengan keberhasilan Aceng Zakaria dalam mengelola dan memanaj Persantren Persis Bentar Garut. Kemudian beliau bersama ustadz Persis lainnya merintis dan memimpin Pesantren Persis Rancabango Garut, hingga termasuk kategori pesantren yang berkembang pesat dan banyak jumlah santri-santriwatinya. Hingga kini beliau masih menjadi Kyai Utama Pesantren Persis Rancabango tersebut.

Kepemimpinan tua muda

Konsentrasi Persis dalam pendidikan pesantren memberikan pengaruh dan hikmah tersendiri dalam pergerakan Islam internal dan eksternal. Lulusan pesantren Persis di seluruh Jawa Barat khususnya, dan Indonesia pada umumnya, telah melahirkan tidak hanya para mubaligh dan da’i atau propagandis Persis dalam masyarakat, tetapi juga memproduk pemimpin pemimpin muda dalam tubuh Persis. Tokoh dan pemimpin senior dalam Persis pun sedemikian perduli pada kalangan muda yang potensial menjadi pelanjut kepemimpinan organisasi di masa depan. Karena itulah mereka pada saat pemimpin tidak segan segan menempatkan sosok tokoh atau ulama muda Persis pada posisi yang strategis, seperti Wakil Ketua Umum atau Sekretaris Umum.

Hal ini dapat dilihat dalam kepemimpinan Latief Mukhtar, MA. Sebagai salah satu wakilnya yang masih muda ialah, Drs. H. Sidiq Amin. Saat itu terlihat mencolok perbedaan usia ketua umum dan wakilnya. Hal ini mengandung, sekurang kurangnya dua makna dalam kepemimpinan Persis. Pertama, Persis sebagai organisasi dan gerakan Islam modernis sedemikian perduli terhadap kepemimpinan kaum mudanya yang dipandang layak dan memiliki ilmu dan tingkat keilmuan ke Islaman mumpuni dan berwaawasan luas. Sidiq Amin sendiri saat itu dan hingga akhir hayatnya menjadi kyai dan pemimpin Pesantren Persis Benda, Tasikmalaya. Hal ini juga memberikan gambaran, bahwa tokoh dan pemimpin Persis tidak hanya di dominasi dari daerah Garut saja, tetapi juga dari daerah lain.

Ternyata penempatan Sidiq Amin sebagai Wakil Ketua PP Persis memberikan isyarat tersendiri. Pada saat Latif Mukhtar wafat, maka sebagai penggantinya, supaya tidak terjadi kekosongan kepemimpinan, lalu Sidiq Amin ditetapkan sebagai Ketua Umum PP Persis. Pada masa kepemimpinan Sidiq Aminpun duduk pula tokoh dan ulama muda Persis, Prof. Dr. Maman Abdurrahman MA, sebagai salah satu wakilnya. Pada saat Sidiq Amin wafat, kepemimpinan berikutnya dilanjutkan oleh Prof Maman tersebut. Namun yang menarik justru pada saat pergantian Ketua Umum PP Persis setelah Prof Maman. Tokoh yang terpilih adalah Aceng Zakaria. Hal ini memang suatu hal yang khusus menjadi perhatian Persis pada zaman yang telah berubah, sehingga diperlukan kepemimpinan yang berakar kuat dalam jam’iyah secara internal, dan disegani kalangan ekternal.

Namun demikian Aceng Zakaria tetap tidak melupakan pola kepemimpinan yang dilakukan para pendahulu dalam menempatkan anggota pengurus yang dipimpinnya. Beliau mengambil contoh apa yang dilakukan Latif Mukhtar dan Sidiq Amin. Beliau menempatkan wakilnya, bahkan Wakil Ketua Umum, dari kalangan muda, Dr. H. Jeje Zaenuddin MPd.I. Kader muda ini sebelumnya telah ditempa sebagai Ketua Umum PP Pemuda Persis. Hal ini berarti, Persis memberikan perhatian yang besar pada kader kader muda yang sudah mengasah kepemimpinannya dalam organisasi kepemudaan di lingkunganannya. Sehingga tokoh muda itu dipandang layak untuk dilibatkan dalam kepemimpinan Persis. Ini proses kaderisasi yang seharus dilakukan oleh organisasi Islam, apalagi organisasi yang dikenal sebagai gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.

Pasangan tua dan muda, senior dan yunior dalam kepemimpinan Persis periode 2015-2020 menjadi cermin, bahwa Persis tidak kehilangan calon calon pemimpin generasi penerusnya dimasa yang akan datang. Apalagi kini Persis berada di zaman yang penuh dengan tantangan yang luar biasa dengan kecanggihan science dan teknologi, sehingga sangatlah tepat menempatkan pemimpin muda milenial dalam kepengurusannya. Hanya belum bisa dikatakan, apakah ini berarti Aceng Zakaria telah mempersiapkan calon penggantinya dalam kepemimpinan Persis sesudahnya? Wallahu ‘alam.

Tawadhu keutamaan pribadinya

Secara umum tawadhu diartikan rendah hati, tidak angkuh dan sombong, tidak merasa tinggi kedudukannya, senantiasa merendah dalam sikap, perkataan dan perbuatan. Sebagai pemimpin Pesantren Persis Rancabango saat dikunjungi ke rumahnya, terlihat ketawadhuannya. Tamunya dilayani dan dihormati dengan baik, dengan penuh kesederhanaan dan kerendahan hati, tidak serta merta ditanya dari mana dan mau apa. Didengarkan apa yang disampaikan tamunya, tentang maksud kedatangannya, dan tidak ada komentar yang bersifat menyatakan keberatan dan masa bodoh kepada mereka. Walau tamunya memujinya, tak tampak dalam wajah dan air muka, merasa tersanjung dengan pujian, beliau bersikap biasa saja.

Sebagai ulama dan kyai, beliaupun tidak serta merta menggurui dan menceramahi tamunya. Beliau mendengarkan dengan seksama apa yang dibicarakan tamunya disertai dengan senyuman khasnya. Pada saat tamunya bertanya tentang buku baru apa yang baru ditulisnya. Tanpa banyak bicara beliau segera masuk ke dalam rumah dan mengambil beberapa buku dan memberikan kepada tamunya. Beliaupun tidak lantas menjelaskan apa isi buku yang diberikan kepada tamunya. Namun dari buku yang diberikannya itu, saat dibaca sudah menunjukkan ke dalaman ilmunya.

Mungkin paparan ini dipandang sebagai penilaian subyektif seseorang pada sosok Aceng Zakaria. Namun setiap orang bisa menilai sosok beliau dari sudut apapun. Namun dengan hadirnya beliau diluar pesantrennya, terlebih pada saat mendapat amanah memimpin Persis, beliau tetap menunjukkan ketawadhuannya. Saat bertemu dengan siapa saja, apakah dengan pejabat negara dan pemerintah, atau ketika berjumpa dengan jama’ah Persis di kampung dan di desa. Selalu senyum khasnya yang tampak pada wajahnya, dan kerendahan hatinya sebagai seorang ulama. Namun apabila membaca buku bukunya barulah orang dapat mengukur ke dalaman ilmunya. Namun dirinya tetap bersahaja dan sederhana dalam penampilan, serta tidak sombong atas ke dalaman ilmunya.

Benarlah pepatah mengatakan, manusia bagaikan padi, semakin tua semakin merunduk, dan merendah. Terbukti Aceng Zakaria dalam buku biografinya ditulis, beberapa akademisi yang membaca karya ilmiyahnya memandang beliau selayaknya mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (DR.CH). Namun gelar itu tidak membuat dirinya tertarik, malah dengan rendah hati dikatakan, “Ana sudah punya gelar Doktor Heunteu Cekola (Sekolah). (Pepen dkk, 2021). Meskipun beliau bukan Doktor atau DR-HC, namun dalam realitasnya mendapat amanah sebagai Ketua dan dosen Sekolah Tingga Agama Islam Persis Garut.

Bukunya melebihi A.Hassan

Ada pendapat mengatakan, bahwa keberhasilan seorang guru atau kyai, apabila murid atau santrinya menjadi orang yang lebih baik lagi, baik dari segi adab, akhlakul karimah dan ilmunya, termasuk dalam perjuangan, pergerakan dan kepemimpinannya. A. Hassan memiliki banyak murid, diantaranya M. Natsir. Ternyata M. Natsir namanya mendunia, ketimbang gurunya. Dalam pergerakan Islam dikenal tidak hanya secara nasional, melainkan juga internasional, khususnya di dunia Islam. Bahkan beliau disegani kawan dan lawan. Hal ini menunjukkan keberhasilan A. Hassan dalam mendidik Natsir, sehingga menjadi lebih baik dari dirinya, terutama dalam bidang pergerakan Islam dan kepemimpinan.

Demikian pula E. Abdurrahman, sebagai penerus perjuangan A. Hassan dalam mengelola Pesantren Pejagalan Bandung dan memimpin Persis sebagai Ketua Umum, telah berhasil mendidik murid dan santrinya menjadi ulama dan pemimpin yang lebih baik lagi. Salah satu murid dan santri beliau adalah, Aceng Zakaria. Murid dan santrinya ini bukan hanya menjadi ulama dengan ilmunya yang luar biasa, sebagaimana dapat dilihat dari buku buku yang ditulisnya, jauh lebih banyak dari gurunya, melainkan juga meneruskan kepemimpinannya sebagai Ketua Umum PP Persis, pada saat jumlah daerah, cabang dan jam’iyah semakin bertambah dan berkembang di seluruh Indonesia. Suatu hal yang berbeda dengan zaman guru dan pendahulunya.

Tentu hal ini mengandung makna, keberhasilan A. Hassan dan E. Abdurahman, serta para ulama dan pemimpin Persis lainnya dalam mendidik dan membina murid, santri dan kader kader mereka menjadi orang yang lebih baik, dalam hal adab, akhlakul karimah, ilmu, perjuangan dan kepemimpinannya. Nama nama besar ulama dan tokoh yang dilahirkan dari rahim Persis, seperti Natsir, Isa Anshari, E. Abdurrahman, Abdul Qadir Hassan, Rusyad Nurdin, Eman Sar’an, Latif Mukhtar, Sidiq Amin, Prof. Maman Abdurrahman, Prof. Dadan Wildan, Aceng Zakaria dan Dr. Jeje Zaenuddin, tidak terlepas dari pendidikan, pembinaan, penempaan dan kaderisasi yang diberikan oleh para ulama, guru, assatidz, kyai dan pemimpin Persis terdahulu, yang dikenal dan berpengaruh dalam masyarakat pada zamannya.

Hanya memang harus diakui, Aceng Zakaria lebih unggul dari para ulama, guru, assatadz dan kyai Persis lainnya, terutama dari hal karya tulis dan buku bukunya. Di bawah ini dapat dilihat dalam tabel jumlah buku yang ditulisnya di bandingkan A. Hassan dan M. Natsir,

Tabel 1

Jumlah buku tulisan Aceng Zakaria dan ulama Persis lainnya

NO

NAMA

JUMLAH BUKU

KETERANGAN

1

  • Hassan

81 judul

Berbagai kajian Islam

2

M. Natsir

68 judul

Idem

3

Aceng Zakaria

103 judul

Idem

Sumber:

  • Nino Yudhi, “Percik Pemikiran A. Hassan”, 2021.
  • Hadi Ramadhan, “Perpus Tamadhun”, 22 Mai 2021.
  • Pepen Irpan Fauzan dkk, “KH. Aceng Zakaria, Ulama Persatuan Islam”, 2021.

Dilihat dari jumlah buku yang ditulis Aceng Zakaria jauh lebih banyak dari ulama, guru dan tokoh Persis ternama lainnya. Namun tokoh lainnya memiliki buku yang menjadi pegangan dan rujukan bagi santri pesantren dan mahasiswa Persis dan Non Persis, serta ummat Islam pada umumnya. Buku atau kitab karya A. Hassan yang menjadi pegangan santri dan ummat, hingga Singapura dan Malaysia, antara lain, “Al Furqan, Al Qur’an, Terjemah dan Tafsir”, “Terjemah Bulughul Maram” karya Ibnu Hajar Asolani, tentang ilmu Fiqih, dan “Soal Jawab”, buku kumpulan tanya jawab yang dimuat di majalah “Al Muslimun”, Persis Bangil.

Adapun buku atau kitab M. Natsir yang cukup dikenal di kalangan santri, kampus dan ummat, hingga Mancanegara, diantaranya “Capita Selecta”, dan “Fiqhud Da’wah”. Kemuliaan beliau juga dapat dilihat dari banyaknya buku yang menulis tentang dirinya, baik berkaitan dengan da’wah, pendidikan, politik, pemikiran dan perannya dalam perjuangan bangsa sebagai bapak NKRI (Negera Kesatuan Republik Indonesia), sehingga beliau masuk namanya sebagai “Pahlawan Nasional” Indonesia.

Demikian pula Aceng Zakaria memiliki buku dan kitab yang menonjol, antara lain dalam Bahasa Arab berjudul: “Al Hidayah Fi Masa’il Fihiyyah Muta’aridhah”, tentang ilmu Fiqih, dan “Al Muyassar Fi Ilmu Al Nahwi”, berkaitan dengan Pelajaran Gramatikal Bahasa Arab, dan sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, (Lihat Pepen, 2021), dan kitab lainnya.

Terlepas dari perbedaan jumlah buku, namun yang menarik dari ketiga ulama, guru dan pemimpin Persis ini, karya tulisannya tentang Islam bersifat multi dimensi. Ada berkaitan dengan aqidah, syari’ah, ibadah, akhlaq, sirah, da’wah, tarbiyah, siyasah dan lain lain.

Khatimah

Aceng Zakaria juga mengikuti jejak pendahulunya, tidak hanya pandai dalam da’wah bil lisan, bahkan mampu berdebat dan polemik; atau da’wah bil qalam dengan menulis buku dan artikel dalam media cetak; tetapi juga dalam da’wah bil hal dan bil lisanul hal. Diantaranya beliau menjadi pengurus organisasi pergerakan Islam, mendirikan pesantren dan lembagai pendidikan Islam, serta aktif berda’wah pada semua kalangan dan lapisan masyarakat, tentunya dengan mengedepankan adab dan akhlaqul karimah. Wallahu ‘alam bish shawab. (Depok, MK.22.5.2021).

 

Sumber foto : Tribun News

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*