MISBAH MALIM, DOKTOR ABAL YATIM

MISBAH MALIM, DOKTOR ABAL YATIM

Oleh: Muhsin MK.

Satu persatu kader M. Natsir yang pernah aktif di Dewan Da’wah Pusat, asal Sumatera Barat, meninggal dunia. Mulai H. Wardi Kamili, wafat sebelum Pandemi Covid-19, disusul H. Bachtiar Bakar Lc., baru menjabat Ketua Dewan Pengawas, saat Pandemi. Kini satu lagi, Dr. H. Misbach Malim, MSc. (MM), mantan Sekretaris dan Ketua, juga wafat waktu suasana Pandemi. Ia meninggal dunia di kampung halamannya, Sumatera Barat.
Pada saat aktif di Dewan Da’wah Pusat, MM dikenal disiplin. Selalu berada di tempat kerja dari pagi hingga sore. Kecuali ia bertugas ke luar atau ke daerah. Ia termasuk betah duduk berlama-lama di kursi kerja. Ia tak mau berdiam diri di kantor. Saat bertemu di dalam ruangan kerjanya, ada saja pekerjaan yang dilakukannya. Entah menulis, mengetik dan mengerjakan pekerjaan Dewan Da’wah lain, yang ada di mejanya.

Sebagai kader M. Natsir, MM termasuk memiliki kemampuan lengkap. Yaitu dalam da’wah bil lisan, bil qalam dan bil haal. Da’wah bil lisan dilakukannya dalam bentuk khutbah, tausiyah, ceramah dan memberi kuliah. Da’wah bil qalamnya diantaranya menulis artikel buat majalah, makalah buat kajian, dan buku untuk bahan da’wah. Salah satu buku yang berhasil di susunnya berjudul “Manajemen Masjid dan Islamic Centre”. Buku petunjuk tehnis mengelola masjid dan Islamic centre di lingkungan Dewan Da’wah.

Da’wah bil haalnya luar biasa. Setelah ia tidak aktif di Dewan Da’wah Pusat, kembali ke kampung halaman. Sebagai Doktor ia merasa lebih bermanfaat di daerahnya, Bukit Tinggi. Di kampungnya ia memiliki yayasan keluarga. Setelah kakaknya wafat, lalu pengelolaannya diserahkan kepadanya. Yayasan itu kegiatannya menyantuni anak yatim dan kaum duafa. Jika saat di Jakarta, ia hanya mencari donatur untuk keperluan aktifitas yayasan. Setelah ia kembali ke daerah, langsung menjadi pengelola, sekaligus mencari donaturnya. Hal itu dapat diketahui pada saat berjumpa dengan MM di masjid Al Furqan Dewan Da’wah Pusat. Ia yang masih gagah sempat berbincang tentang aktifitasnya sebagai abal yatama (bapak anak-anak yatim). Ia masih mundar-mandir Bukit Tinggi-Jakarta.

Teringatlah pada saat dengannya masih menjadi staf di Dewan Da’wah Pusat. Pada masa Biro Diklat dan Da’wah dikomandoi H. Syuhada Bahri, yang sempat menjadi Ketua Umum Dewan Da’wah Pusat. Daurah du’aat dilaksanakan diantaranya di Bukit Tinggi. MM menjadi salah satu pemateri. Termasuk H. Amlir Syaifa Yasin MA, juga asal Bukit Tinggi. Ia kini menjadi Wakil Ketua Umum Dewan Da’wah Pusat. Saat itu kami tidak hanya berada di lokasi daurah, di hotel Dimen. Penulis diajak keduanya mengenal daerah Bukit Tinggi yang indah dan menawan. Daerah yang diapit dua gunung, Sinabung dan Merapi.

Jika Amlir mengajak: 1. Ke Goa Jipun. 2. Makan “Ketupat Khas Bukit Tinggi”. 3. Beli songkok dan baju kokok khas setempat buat oleh-oleh utusan dari Dewan Da’wah Pusat. 4. Makan nasi kapau. 5. Mampir ke rumahnya di Sungai Puar. 6. Minum susu sapi asli. Maka MM mengajak mampir ke rumah keluarganya untuk melihat yayasan dan lembaga pendidikan yatim dan dhuafa yang dikelolanya. Tentu keluarganya menyambut kedatangan kami saat itu di lingkungan mereka. Yayasan yang terus dipeliharanya ini semakin berkembang. Diantaranya memberikan pendidikan gratis kepada anak yatim dan kaum duafa yang dibinanya hingga perguruan tinggi.

Ada hal kebaikan budi MM yang tidak bisa dilupakan hingga saat ini. Pertama, pada saai ia memanggil dan menawarkan baju koko saat jelang Idul Fitri. Kedua, ketika ia memberikan kain sarung untuk guru guru Madrasah Aliyah Muhammadiyah Kota Depok. Saat itu penulis sebagai Kepala sekolahnya. Ia memang peduli pada teman da’i. Jika ada hadiah cukup banyak ia dapatkan dari jamaah, maka ia tidak segan-segan membagi-bagikannya kepada teman sekantor dan sesama da’i di lingkungan Dewan Da’wah.

Pada saat penyusunan buku “Manajemen Masjid dan Islamic Centre”, MM sempat mengundang penulis untuk hadir. Bahkan iapun meminta makalah yang berkaitan dengan fungsi masjid. Tentu permintaannya penulis penuhi dengan baik. Makalah yang diberikan kepadanya berjudul “Masjid sebagai Pusat Aktifitas Sosial”. Makalah itu diterima, walau tidak semua isinya dimasukkan. Hal itu saja sudah menggembirakan hati. Minimal disebutkannya para penyumbang makalah di dalam daftar pustaka buku tersebut.
Apa yang dilakukan MM tidak terlepas dari tradisi di Dewan Da’wah. Aktifitas da’wah bil qalam di organisasi ini memang cukup kental. Sebab tokoh-tokohnya, seperti M. Natsir, Prof. Rasyidi, H.M. Yunan Nasution, Prof. Osman Ralibi, H. Nawawi Duski, H. Zaenal Abidin Ahmad dan lain-lain, dikenal sebagai penulis produktif. Karena itu proses kaderisasinya tidak hanya da’wah bil lisan, tetapi juga bil qalam. Tak tertinggal pula dalam aktifitas da’wah bil hal dan bil lisanul haalnya.

Ada persamaan yang dimiliki kader Dewan Da’wah dalam aktifitasnya ini di samping perbedaan. Apalagi dengan MM, persamaannya antara lain: 1. Kami sama-sama pengisi daurah, khutbah, ceramah, tausiyah dan kuliah di Lembaga Pendidikan Da’wah Islam (LPDI) dan Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) M. Natsir. 2. Kami sama-sama penulis di mass media da’wah, khususnya terbitan Dewan Da’wah dan buku tentang Islam dan da’wah. 3. Kami sama-sama memiliki gelar Master of Science (M.Sc) dari Jakarta Institut Manajemen Studies (JIMS).
Perbedaannya: 1. Kami berasal dari daerah yang berbeda. MM asal Minangkabau. Penulis asal Betawi. 2. Ia pernah kuliah di Timur Tengah. Ia memiliki gelar Lc. 3. Ia lebih dahulu membantu M. Natsir. 4. Ia sedemikian mendalami dan menghayati buku “Fiqhud Da’wah” karya Natsir, sehingga paham betul tentang isi yang terkandung di dalamnya. 5. Ia sempat duduk dalam pengurus harian Dewan Da’wah Pusat. Penulis hanya sebagai Anggota Pleno ex ofocio saja pada masa kepemimpinan Dr. Anwar Harjono SH, H. Afandi Ridwan dan Drs. KH. Cholil Badawi. 6. Ia lulus dan berhasil meraih gelar Doktor di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor.

Pada saat Pandemi COVID-19, MM sempat menjawab WhatsApp yang penulis kirim. Walau sudah tidak sama-sama di Dewan Da’wah Pusat kami tetap tidak saling melupakan. Ternyata itulah komunikasi kami terakhir. Hingga penulis mendapat kabar dari aktivis Dewan Da’wah Pusat, Hadi Ramadhan, Abal yataamaa (bapak anak anak yatim) itu wafat di Bukit Tinggi, tanah kelahirannya. Karena tidak dapat berta’ziyah langsung, maka sebagai sesama da’i hanya dapat mendoakan, “Semoga Allahuyarham diterima amal ibadahnya dan diampuni dosa dosanya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semoga anak-anak yatim dan duafa yang dibina dan ditinggalkannya dapat meneruskan da’wah dan perjuangan yang beliau lakukan selama ini. Aamiin“.
(Depok, MK.4.6.2021).

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*