TEPATAN KITA

TEPATAN KITA

Oleh: Ustadz Zulfi Syukur

Bismillah

Pak Natsir dulu sering menunjuk orang sebagai tepatan. Apa makna yang dimaksud tepatan oleh Pak Natsir itu?

Ketika awal berdirinya Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, perekrutan Ketua Dewan Da’wah Perwakilan umumnya diambil dari para mantan tokoh-tokoh Masyumi, sebut saja misalnya : Djamaluddin Ahmad (Ketua Dewan Da’wah Sumatera Utara), Buya Dt. Palimo Kayo (Ketua Dewan Da’wah Sumatera Barat), KH. Rasyid Siddiq (Ketua Dewan Da’wah Sumatera Selatan), Ustadz HMO Bafadhal (Ketua Dewan Da’wah Perw. Jambi), Rafi’un Rafdy (Ketua Dewan Da’wah Perw. Lampung), Muktar Afrudy (Ketua Dewan Da’wah Perw. Bengkulu), Pak Yunan Nasution (Ketua Dewan Da’wah Khusus DKI Jakarta), KH. Rusyad Nurdin (Ketua Dewan Da’wah Jawa Barat), KH. Ali Darokah (Ketua Dewan Da’wah Jawa Tengah), AR. Baswedan (Ketua Dewan Da’wah Yogyakarta), KH.Misbach / SU. Bayasut (Ketua Dewan Da’wah Jawa Timur), Arsyad Pana (Ketua Dewan Da’wah Sulawesi Selatan), Mu’in Idris (Ketua Dewan Da’wah Kalimantan Barat), Ahmad Buchari (Ketua Dewan Da’wah Kalimantan Timur) dan seterusnya.

Sebagai tetua dan sesepuh Masyumi, Pak Natsir dan mereka para Ketua-Ketua Dewan Da’wah itu dalam setiap event pertemuan sangatlah bahagia, seolah tak ada penatnya meneruskan estafeta perjuangan dari ranah politik ke ranah da’wah. Setiap ada pertemuan di rumah salah seorang pengurus atau rapat kecil, pertemuan biasa, selalu diiringi dengan nuansa kebersamaan, gelak dan tawa, cerita nostalgia dan kenangan lainnya.

Begitulah manakala ada hal-hal yang penting untuk dibicarakan, para Ketua Dewan Da’wah itu datang ke Jakarta memenuhi panggilan Pak Natsir. Baik secara bersama-sama dalam pertemuan terbatas maupun beberapa Ketua perwakilan saja, sesuai dengan objek pembicaraan. Itu silih berganti. Begitu setianya mereka para Ketua Dewan Da’wah itu dengan Pak Natsir. Seolah-olah apa saja yang Pak Natsir perintahkan mereka akan selalu sami’na wa atho’na.

Nuansa pergerakan da’wah di kala itu sangatlah kondusif dan kental dengan keramah-tamahan dan tentu sangat menyenangkan.

Nuansa pertemuan yang kondusif itu (kata orang sekarang) sudah tentu tidak bisa berlangsung lama dan intens. Pak Natsir paham betul bahwa para koleganya sudah semakin beranjak mendekati usia senja. Pak Natsir di tahun-tahun 1980-1982 itu sudah menginjak usia 70 tahunan. Tak tega rasanya beliau panggil Ustadz HMO Bafadhal (Rektor IAIN Jambi) bolak-balik ke Jakarta, Pak KH. Rasjid Siddiq (Palembang) begitu pula Pak AR. Baswedan (Yogyakarta), K.H. Misbach (Jawa Timur), harus selalu ke Jakarta.

Sementara dalam memori Pak Natsir seolah tak sabaran berpikir keras, manakala beliau telah duduk agak miring sedikit ke kiri mata fokus pandang ke depan sembari memilin- milin beberapa lembar rambut beliau, maka kami para staf, Pak Buchari Taman, Adi Thalib, Amlika Dt. Marajo, Muzayyin Abd Wahhab, Misbach Malim (semuanya sudah tidak bersama kita, yang terakhir adalah Ustadz. Misbach Malim,) dan kami sendiri. Kalau sudah begitu keadaannya, kami sementara tidak akan ganggu bapak, dan siap menunggu perintah. Kami di sekretariat di waktu itu biasa kesehariannya memanggil beliau dengan Bapak (Apak) dalam bahasa Minang. Jadi bukan Abah. Beliau ingin bagaimana supaya mobilitas gerakan Dewan Da’wah akan lebih berkembang dan dapat dengan segera bisa merambah dalam berbagai segmen da’wah lainnya. Seolah-olah beliau ingin bayar hutang karena beberapa tahun saat di penjara tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam upaya menggerakkan laju da’wah, supaya lebih berkembang cepat, maka diperlukan anak muda yang cerdas, tangguh, aktivis, kerja tanpa pamrih, apabila perlu bikin surat sendiri, kirim ke pos sendiri, ongkos talangi dulu sendiri. Maka itu Pak Natsir menunjuk anak-anak muda itu dengan istilah Tepatan. Anak-anak muda itu ada juga sebagai pengurus perwakilan setempat atau dari aktivis stake holder kita dari PII, HMI, GPI, profesional, dan mahasiswa yang sepemahaman dan bisa bergerak cepat atas dasar instruksi dan permintaan Pak Natsir dari Jakarta via telex, pager, telegram, kilat khusus atau telepon dan tidak melalui pengurus perwakilan maupun Ketua perwakilan di daerah. Langsung ke yang bersangkutan, saking pengen cepatnya Pak Natsir di kala itu untuk segera terwujudnya meningkatkan dan menyiarkan mutu da’wah.

Namanya siapa saja?

Tepatan untuk Sumatera Utara adalah Masri Sitanggang, untuk Sumatera Barat adalah Asrul Lukman, untuk Palembang adalah Ibrahim Ghozie., untuk Lampung adalah Rafiun Rafdy, untuk Jawa Barat adalah Daud Gunawan, untuk Jawa Tengah adalah Sudirman Marsudi., untuk Yogyakarta adalah adalah Pak Chamim Prawiro atau Saifullah Mahyudin atau Ir. Sahirul Alim., untuk Jawa Timur adalah Imam Buchari, untuk Makasar / Sulawesi Selatan adalah Yamin Amna dan seterusnya.

Apa saja tugas Tepatan itu?

Menyampaikan info kepada perwakilan dan pengurus lainnya bahwa urgensi program di waktu itu adalah membendung arus dan lajunya kristenisasi, pembangunan masjid, koordinasi da’i, pembangunan Rumah Sakit Islam untuk daerah tertentu termasuk soal-soal Poleksosbud dan isu-isu strategis lainnya.

Dalam satu kesempatan pertemuan di Jakarta, saya pernah bertanya kepada Pak Djamaluddin Ahmad Ketua Dewan Da’wah Perwakilan Sumatera Utara. “Kami kirim surat tidak melalui Ketua/kantor, tapi langsung ke si fulan Pak, ngga apa-apa Pak?,” Pak Djamaluddin senyum dikulum, senang dia tidak ada masalah. Yang penting apa yang diperintahkan Pak Natsir kita segera lakukan, begitu kira-kira kesepakatan dan kesepemahaman yang tidak tertulis di kala itu.

Bahkan saking peran yang besar ditimpakan ke anak-anak muda di kala itu, ketika Pak Natsir minta segera supaya perwakilan Dewan Da’wah Jawa Barat segera ke Jakarta dalam satu urusan. Maka datanglah Pak Daud Gunawan, ke kantor Dewan Da’wah di Jalan Kramat Raya 45 langsung hendak menemui Pak Natsir di ruangannya. Yang indah dan uniknya justru Pak Daud Gunawan jalan di depan, sementara Pak KH. Rusyad Nurdin di belakang Kang Daud, seolah olah Kang Daud dikawal oleh pak Kiyai. Sementara Pak KH. Rusyad Nurdin lempar senyum sana-sini ke Pak Buchari Tamam dan lain-lain. Ya begitulah indahnya.

Soal Tepatan ini ternyata sangat strategis manakala dipikir-pikir. Disamping ada tepatan kita di daerah, yang melekat pada perwakilan Dewan Da’wah dan NGO mitra Dewan Da’wah di dalam negeri, ternyata istilah Tepatan ini juga merambah ke mancanegara. Di Suriname ada sdr. Moh.Ali, di Belanda ada Abdul Wahid Kadungga, di Amerika dan di Jerman ada Ust. Moh.Zubaedi (sekarang di Bogor), di Jepang ada Idris No Majid, di Jeddah ada Pak Siddiq dan Pak Nazief dan ABIM (Malaysia) adalah termasuk anak ideologis Pak Natsir. Dan yang terpenting juga adalah Tepatan strategis para mahasiswa kita dalam rangka fundrising Dewan Da’wah di Riyadh / Saudi dan Timur Tengah pada umumnya, yang dikomandoi oleh Ustadz Abdul Wahid Alwi. Ini adalah sejarah.

‘Ala kulli haal begitulah fungsi strategis Tepatan yang kalau dimaknai di era sekarang adalah network (jaringan), dan ternyata dengan network yang telah dilakukan dan dicontohkan oleh Pak Natsir secara manual itu, paling tidak telah membangun dan ikut membesarkan Dewan Da’wah dengan olah kerja manajemen ‘ala kulli haal di era old.

Kini kita sebagai generasi pelanjut tinggal dan tengah mewarisi nilai-nilai kebaikan itu dari para sesepuh kita untuk kita rawat dan tumbuh kembangkan sebagai timbang terima amanat da’wah. Wallahu ‘alam. (Z. Syukur, 13 Juni 2021)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*