Menelusuri Teladan Berpolitik M. Natsir

STIDNATSIR.AC.ID – Keteladanan Politik Mohammad Natsir menjadi tema dihari keempat pada pelaksanaan Webinar dalam rangka Menyongsong 113 Tahun Mohammad Natsir. Yang disampaikan oleh Dr. Taufik Hidayat, MA. Ia menjadi pemateri pada sesi kedua yang dilaksanakan pada Rabu (14/07/2021). Pada pemamparannya ia menjelaskan bahwa keteladanan pak Natsir dalam dunia Politik patut diteladani. Dan keteladanan dari pak Natsir dilihat hal 3 hal. Pertama, keteladanan dalam segi Niat dalam politik.

Menurut pak Natsir berpolitik merupakan sebuah ibadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, hal tersebut ia ungkapkan dalam beberapa artikel dengan mengutip QS. Az-Zariyat:56

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Pak Natsir mengatakan bahwa ketika berpolitik bukan untuk menang dan kalah tetapi sebagai wujud amal shalih untuk mengurusi masyarakat.
Selanjutnya, Ia menganggap bahwa Islam adalah ideologi yang cocok dalam perpolitikan, dengan memegang hukum Al-Qur’an dan Sunnah, maka syariat Islam mampu ditegakkan di dunia politik. Sama halnya seperti kaum komunis yang menggunakan ideologi Marsis dalam perpolitikan mereka. Selama mengarungi kehidupan perpolitikan, pak Natsir Tidak mendendam walaupun ia menerima penindasan dan perbuatan zalim dari lawan politiknya.

Di antara bentuk kerja dari Pak Natsir Seperti bantuan yang ia lakukan kepada Soeharto terkait akses ke pemerintah Malaysia untuk pemulihan hubungan, mencari celah dengan cara melakukan pendekatan kepada pemerintah Kuwait untuk invertasi ke Indonesia dan melakukan pendekatan kepada pemerintah Jepang untuk memberikan bantuan pembangunan. Dan pada saat itu beliau sedang di berada di dalam bui ketika zaman Orde Baru, karena petisi 50.

Keteladanan dan pemikiran Pak Natsir yang Kedua yaitu, mengenai hubungan agama dan negara. Pada tahun 1940 ia dan Bung Karno mengalami sebuah polemik, hal ini tercantum di dalam sebuah majalah Pandji Islam. Hal tersebut muncul karena bung karna merasa terkesima dengan sistem sekulerisme yang ada di Turki pada saat dibawah pimpinan Kemal Attaturk, sedangkan ia sangat menolak sistem perpolitikan sekulerisme.

Baginya nilai agama Islam sebagai pemandu dalam kehidupan bernegara tidak dapat dipisahkan. Ia berpendapat bahwa negara sebagai alat bukan tujuan, selama bisa menyampaikan tujuan agama maka sistem negara apapun boleh dipakai. Kemudian, yang di tekankan oleh Pak Natsir adalah Islam dan Nasionalisme tidak pelu dipertentangkan, karena manusia adalah makhluk yang mempunyai fitrah berbangsa dan berbudaya, sehingga cinta tanah air adalah hal yang lumrah. Selama nasionalisme digunakan untuk hal-hal yang wajar.

Selanjutnya, menurut Dr. Taufik, Pak Natsir sangat dikenal dengan Theistic Democracy yaitu demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan atau keagamaan, karena ada beberapa unsur-unsur yang terdapat di demokrasi ini bisa dimanfaatkan oleh umat Islam, kemudian Pak Natsir tidak menyetujui dengan konsep Teokrasi seperti sistem kependetaan. Karna di agama Islam tidak ada perbedaan antar ras. Hukum-hukum yang sudah pasti dari Al-Qur’an dan Hadits tinggal dijalankan, sedangkan implementasi dan tata caranya di musyawarahkan melalui syura/parlemen. Sehingga Islam anti despotism (penguasaan dengan kekuatan politik absolut), otoriterisme (kekusaan politik Terkonsentrasi pada suatu pemimpin) maupun absolutism (bentuk pemerintahan dengan semua kekuasaan terletak di tangan penguasa) Dan yang paling penting yaitu pemikiran politik Pak Natsir tentang politik adalah Persatuan Umat Islam. Yakni, beliau mengatakan bahwa muslimin tidak akan pernah bersatu, tetapi mukminin di jamin oleh Allah persatuan nya. Sebagaimana Firman-Nya dalam QS al-Hujurat-10.
Persatuan merupakan soal hati, soal wajhah (tujuan hidup menata Ridho Allah Subhanahu wa ta’ala) dan kebersihan amal untuk mencapai tujuan itu. Dan pada saatnya pula Allah mempersatukan nya (QS. Al-Anfal : 63).

“Kebanyakan perpecahan bukan karna banyaknya organisasi tetapi karna beloknya niat wijhah dari organisasi tersebut. Karna pada dasarnya Persatuan yang dipaksakan tidak akan kekal.” (Kritik M. Natsir terhadap Fusi Parpol). Point penting yang beliau ungkapkan disini ialah mengenai kejujuran dalam politik. Perbedaan dalam kejujuran di benarkan, karena perbedaan akan menjadi perpecahan jika di tunggangi oleh hawa nafsu seperti jabatan, harta, popularitas, dan sebagainya. Adapun tahapan Persatuan adalah intopeksi diri, mengikatkan tali ukhuwah atau saling silaturahmi tanpa gembar gembor para tua-muda dan bicara hati ke hati (informal), pertukaran pikiran dalam suasana tenang, tidak buru-buru dan lebih jernih, keliatannya justru kepada kesupelannya/tidak kaku, tegang atau penuh peraturan.

Ketiga, keteladanan politik pak Natsir dari segi sikap dan tindakan politik. Yaitu, anti komunisme dan otoritarisme. Bagi pak Natsir komunisme akan membahayakan Indonesia dan akan membuat layu Pancasila. PKI juga bisa mengganti sila pertama yaitu ketuhanan yang maha Esa dengan “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup”. Yang nantinya akan mengarah kepada atheism. Pak Natsir sempat menegur bung Karno secara sepihak mengintervensi urusan Irian barat dan mengkritik secara keras ketika bung Karno ingin menerapkan demokrasi Terpimpin/demokrasi timur/demokrasi gotong royong dimana PKI ikut serta dan mengarah kepada otoritarianisme. Kemudian pak Natsir menulis tulisan anti otoritarianisme “Bela Dasar demokrasi yang sedang terancam”. Pada saat itu rezim Soekarno telah sampai pada puncak kecongkakan dan kesombongan, dengan melakukan kontra Revolusi dan yang lainnya

Kemudian, keteladanan sikap dan perilaku Moh. Natsir yaitu beliau merupakan komunikator yang handal. Dimana pada Mosi Integral beliau mampu melakukan pendekatan Ke-15 negara bagian untuk menerima NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) Dan mendapat dukungan juga dari Partai Khatolik dan Partai Kristen Indonesia. Kabinet yang formatur nya dari Masyumi selalu melibatkan Partai Khatolik dan Parkindo.
Beliau juga selalu mencari titik temu dalam masalah yang sifatnya masih bisa diperbincangkan. Seperti, ketika pidato mosi integral pak Natsir menghindari pembicaraan bentuk negara Unitarian atau federalis, tetapi yang ditampilkan adalah rasa Persatuan sebagai satu bangsa dan satu tanah air. Dan lagi, ketika pak Natsir menjadi ketua delegasi menemui Ketua PDRI, Syafruddin Prawiranegara, walaupun pak Natsir sepemikiran dengan pak Syaf terkait “kurang sowannya” Pimpinan di Yogya, tetapi pak Natsir berusaha mencari cara agar pak Syaf ikhlas menerima demi Persatuan bangsa. Yang paling menarik adalah beliau sangat pintar memilih kata-kata yang membuat lawan politik bertekuk lutut tanpa tersinggung harga diri.

Lalu, keteladanan dari sikap dan perilaku pak Natsir adalah berpolitik melalui cara yang konstitisional. Dimana pak Natsir menolak cara-cara yang dilakukan oleh Darul Islam dalam menegakkan negara Islam, karena tidak melalui prosedur politik yang konstitisional. Pak Natsir justru mencari jalan untuk mencegah deklarasi NII Kartosuwiryo pada 20 Januari 1951, dimana pada saat itu Masyumi yang di pimpin oleh pak Natsir mengeluarkan deklarasi tegas kepada NII/DII (Darul Islam).
Sedangkan PRRI merupakan koreksi daerah terhadap cara-cara otoritarianisme Soekarno yang tidak konstitunasional /melanggar UUD dengan membentuk kabinet Djuanda tanpa persetujuan parlemen. PRRI hanya memberi ultimatum kembali ke UD/Kondtitusi.

Mohammad Natsir merupakan politisi yang sangat teknokrat. Yakni, beliau sangat terampil dalam hal-hal teknis seperti surat-menyurat, mengkonsep pidato Soekarno-Hatta terutama pada 17 Agustus, dengan memilih gaya komunikasi yang sesuai format komunikasi. Dan lagi ketika menjadi Menteri Penerangan, beliau sangat gencar melakukan sosialisasi untuk pengakuan dunia internasional RI memalui berbagai macan cara seperti Radio, surat kabar, selebaran, tulisan-tulisan asing dan lain-lain.
Ketika menghadapi masalah, tindakan yang di ambil oleh pak Natsir adalah berpirau di saat badai datang. Maksudnya, berpirau artinya maju. Maju menyongsong angin dan arus. Seorang nahkoda, bagaimana pun pintarnya tidak bisa berlayar sendiri. Kekuatannya terletak pada tenaga anak perahu. Adakalanya kapal harus menepi dan berhenti terlebih dahulu, kemudian melanjutkan perjalanan setelah badai reda. Karena tidak ada badai yang tidak reda, kemudi tidak boleh sampai lepas tangan. Nahkoda tidak boleh meninggalkan kemudi sehingga awak kapal bingung.

Dalam perjalanan hidup pak Natsir, seperti yang diketahui bahwa jalan dakwah yang di tempuh beliau tidak serta mulus. Banyak halangan dan rintangan yang telah ia lalui. Otokritik “kegagalan” Moh. Natsir dalam partai politik menurut Nurcholis Majdid, pak Natsir kurang berpijak pada realitas kultur mayoritas, terutama suku Jawa. Sedangkan menurut Taufik Abdullah kegagalan Moh. Natsir adalah kegagalan dan keterkejutan seorang guru yang idealis menghadapi realitas yang keras. Yaiti betapa dunia semakin cenderung pada materialistik, Cita-cita mendatangkan kemewahan dunia.

Kemudian ia memilih berpolitik melalui dakwah setelah sadar umat ternyata masih buta politik islam. Setelah beliau menyadari bahwa dengan jalur politik ternyata ideologi dan dakwah islam kurang di terima oleh umat islam sendiri. Ia akhirnya lebih memilih jalur dakwah untuk menempuh cita-cita ideologis tersebut dengan mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia pada tahun 1967.

Di akhir penyampaiannya, Dr. Taufik menyampaikan kesimpulannya yaitu lahirnya pemimpin adalah dari terpaan penderitaan. Jadi, pemimpin-pemimpin hebat biasanya menderita dulu, susah dulu baru menjadi pemimpin sehebat pak Natsir.

Beliau juga mengatakan beberapa kutipan pak Natsir salah satunya ialah “kalau memang saudara-saudara merasa tidak perlu sertai politik biarlah tidak udah berpolitik. Tetapi, kalau saudara-saudara sama saudara buta politik, maka saudara-saudara akan dimakan oleh politik”.

(Pipit Aisyah/Marwah)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*