Menunggu Bidadari di Kepulauan Aru

Ditulis oleh : Dr. Misbahul Anam, MA

(Dosen Tetap Prodi PMI STID Mohammad Natsir)

وَحُورٌ عِينٌ (22) كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ (23) جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (24

Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-Waqiah, 22-24)

“Jadi ustadz, kurang lebih 2 bulanan belakangan ini, ana sering berdoa kepada Allah agar segera disegerakan menikah, singkat cerita tiba-tiba kemaren malam ana dapat tranferan yang jumlahnya insyaallah cukup untuk biaya nikah, karena ana khawatir itu jebakan ana tadi sudah konsultasi ke polisi dan ana cek di rekening, mereka sarankan untuk menunggu sampai habis bulan Agustus, dan untuk nama pengirimnya tidak bisa diketahui karena dia bukan transfer tapi pakai top up. Jadi bagaimana hukumnya ana pakai uang ini untuk nikah? Mohon fatwanya ustadz”, tulis seorang dai jauh di kepualaun dekat Australia dalam pesannya.

Ku jawab dengan penuh perasaan, saat itu juga. Maklum, dari kawasan low signal, jauh diujung selatan nusantara yang telah dimerdekakan 76 tahun yang lalu pada Agustus 2021 ini. Bismillah kutulis sederhana, kawatir membuatnya sedih, “Wah, kalo tidak jelas kawatir jadi masalah. Tunggu saja sampai jelas. Kalo kita kiyaskan dengan barang temuan/luqathah, harus diumumkan dulu, susah kan? Atau mungkin dipakai, tapi kalo satu saat ada masalah, harus dikembalikan”.

Kontak ini cukup membuatku senang, karena sudah sejak 1 bulan yang lalu, saya belum dapat kabarnya, sejak orang tuanya wafat. Di mana ia izin balik kampung untuk takziyah, walaupun lebih dahulu dimakamkan, karena jauhnya rute perjalanan dari Pulau Aru ke Pamekasan Madura. Saat tersambung, ku awali dengan doa untuk ortunya,” Allahumaghfir lahu warhamhu, wa ‘afihi wafu anhu….”.

“Bagaimana kegiatan dakwahnya ditempat tugas?? Emang mau nikah sama orang setempat?”, pertanyaan setandar saat menyapa dai lapangan. Katanya,

“Alhamdulillah …, walaupun masih banyak tugas yang harus diselesaikan. Mohon doanya, supaya ana bisa Istiqomah. Kalo nikah belum ada gambaran mau nikah sama orang mana ustadz, belum ada calon”.

Kiriman pesan selanjutnya dari dai penjelajah ini tertulis, “Ustadz jika ada waktu, boleh tidak ana hubungi ustadz, butuh nasehat, motivasi dari ustadz ni”. Segera ku pencet nomor sang dai, dengan kontak visual, agar suasana lapangan bisa terbaca dengan baik. Maklum, ini kawasan yang indah, dengan 600 pulau kecil, yang baru ditempati hanya 200 pulau. Dua pulau pernah dikunjunginya, pulau Letting dan pulau Dula Laut dengan warga yang merindukan juru dakwah sebagai pembimbing.

Percakapan berpindah, dari papan tombol ke papan layar. Terlihat rambutnya yang gondrong, keren layaknya anak muda melenial saat ini. Saya hanya sedikit bertanya, ku biarkan ia bercerita tentang aktivitas dakwahnya.

Katanya, “Alhamdulillah, kami disini cukup senang. Kami merintis sekolah tsanawiyah dengan modal 7 murid tahun ini”. Maklum katanya dalam dialog itu, “Pondok ini masih baru, berada kurang lebih 12 km dari pusat kota. Dikawasan pinggir hutan dan pegunungan”. Pondok yang dirintis oleh aktivis lembaga dakwah Hidayatullah yang terkenal itu.

Ustadz Solaiman satu saat datang ke kantor Dewan Da’wah meminta dikirimkan dai yang akan bertugas di kawasan kepulauan Aru. Dia mensyaratkan, “Minta yang kuat fisiknya, terbiasa dengan kehidupan laut, tapi juga bisa berinteraksi di kawasan pegunungan, bercocok tanam”. Memang sebelumnya, beliau juga mengirimkan aktivitas berkebunnya di daerah itu.

Ketemulah Evan Al-Farisi namanya, anak Madura. Ia memang pernah meminta ditempatkan di kawasan yang jauh, ke daerah yang tiada sinyal listrik dan telepon sekalipun. Badanya kurus, suka tersenyum, menawan dan penuh obsesi. Nama Evan juga mengingatkanku pada sosok Evan Dimas bintang sepak bola dari Surabaya yang cerdik, lincah, tapi sopan. Mengenalkan “sujud syukur” setiap sukses menjebol gawang lawannya. Digandrungi anak muda, dan mungkin ibu-ibu untuk dijadikan menantunya.

Sang dai juga bercerita aktivitas dawah di luar pondok, “Saya juga aktif memberikan pengajian di Masjidnya Pak tentara dan polisi”. Tentu kegiatan ini sangat membanggakan, karena juru da’wah memang tugasnya melayani, mengajak dan menemani seluruh warga. Apalagi kepada saudara seimannya, sebagaimana negara berketuhanan yang Maha Esa. Pastilah, ini adalah pekerjaan mulia, ikut menangani tugas negara di perbatasan negara Indonesia Raya, walaupun tanpa anggaran yang memadai.

Sang da’i minta dibimbing terus, katanya, “Ilmu saya rasanya masih belum cukup untuk menangani masalah lapangan”. Ku balas keluhan itu dengan ungkapan, “Antum telah mengawali pekerjaan yang besar. Membuka buku besar, meneliti dan coba mencarikan jalan keluarnya”.

“Tak masalah ! Dikit tapi nyata, daripada banyak tapi hanya dalam cerita”, dalam dialog itu. Memang begitulah sejatinya juru da’wah itu. Jangan dilihat hasil dan karyanya saja. Tapi apresiasi seluruh prosesnya, dari tahap awal dan saat dalam perjalanan. Jangan menunggu hasilnya, karena hasil memanglah amat rahasia. Lagi pula, da’wah itu memang lebih melihat prosesnya, pada tahapan yang sedang disusun.

Perlu waktu, semoga kesempatan yang ada ini cukup. Sang da’i kelihatanya cukup optimis, karena saat ku tanyakan, “Antum tugas mengabdi berapa tahun?”. Jawabnya , “Dua tahun tadz, doakan semoga kuat”. “Aamiin”, ku jawab dengan penuh harap, di saat sore menjelang maghrib, saat rutinitas doa petang baru mulai dan terputus karena telpon sang dai, yang sudah lama tak bersua.

Teringat ayat-ayat dalam surat al-Waqiah di atas, ayat selanjutnya memberikan hiburan tentang balasan, surga dan kehidupan abadi. Ku temukan kemudian dalam tafsirnya ayat-ayat pendek, yang telah-ku hafal saat mondok di Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, hadist Rasulullah berikut,

إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ تَكُونُوا رُبْعَ أَهْلِ الْجَنَّةِ، ثُلُثَ أَهْلِ الْجَنَّةِ، بَلْ أَنْتُمْ نِصْفُ أَهْلِ الْجَنَّةِ -أَوْ: شَطْرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ-وَتُقَاسِمُونَهُمُ النِّصْفَ الثَّانِي

“Sesungguhnya aku berharap semoga kalian adalah seperempat penghuni surga, sepertiga penduduk surga, bahkan kalian adalah setengah atau separo penduduk surga, sedangkan yang separuh lainnya diperebutkan oleh mereka”.

Semoga saja, doa sang da’i terkabulnya, walaupun katanya, “Saya belum ketemu siapa calon istri yang mau”. Aku berharap kepada Allah, “Semoga jodohnya adalah wanita yang bisa diajak berdawah, menyusuri kepulauan-kepulauan yang indah, dengan semangat ‘bonek’ ala Jawa Timuran. Mendidik warga dan mengenalkan agama untuk mereka”. “Kalaulah tak ketemu juga, semoga ada bidadari surga yang menunggumu di pintu surga”, dalam benak-ku di ujung telepon, menutup perbincangan di sore itu.

Katanya, “Kita tutup ya tadz, di sini sudah berkumandang Adzan Maghrib, nanti kita sambung lain waktu, jika ustadz masih bersedia”. Oce, semoga dirimu selalu sehat dan barokah.

Pondok Ranggon, 4/8/21

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*