Menilik Pemikiran dan Praktik Kaderisasi Da’i Dalam Perspektif Mohammad Natsir

STIDNATSIR.AC.ID – “Patah Tumbuh Hilang Berganti”, merupakan kutipan menarik dari pembahasan yang tidak kalah penting dengan judul “Pemikiran dan Praktik Kaderisasi Da’i Mohammad Natsir” pada Webinar hari ke 5 di sesi pertama yang berlangsung sangat khidmat. Hal tersebut dikarenakan banyaknya partisipan yang sangat fokus mendengarkan penuturan – penuturan yang disampaikan Narasumber.

Dipandu oleh seorang moderator, ia mempersilakan Dr. Ujang Habibi selaku Narasumber untuk memulai webinar pada Jum’at (16/7/21), pukul 09.00 WIB.
Berbicara mengenai kaderisasi yang dilakukan oleh Mohammad Natsir, sangatlah menarik, karena sampai saat ini kaderisasi itu terus berjalan dan orang-orang yang telah dikader oleh Mohammad Natsir sampai hari ini sebagian masih Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan kesempatan untuk membersamai kita diantaranya Allahuyahfadz Kiayi Syuhada Bahri dan juga yang lainnya. Dr. Ujang Habibi menuturkan bahwa sebelumnya ia tidak mengenal sosok Mohammad Natsir sejak di bangku Sekolah Dasar sampai ia lulus Aliyah (setara SMA dan setingkatnya). Karena memang di buku sejarah seperti sengaja disembunyikan nama-nama tokoh dalam Islam. Hingga akhirnya ia kuliah di STID Mohammad Nasir tahun 1999 sebagai angkatan pertama. Dan dari situlah ia mulai mengenal siapa sosok Mohammad Natsir.

Kemajuan kaderisasi yang berlangsung di STID Mohammad Natsir ini bermula ketika Dr. Ujang Habibi lulus dari STID Mohammad Natsir, kemudian diminta untuk mengabdi sekaligus berkiprah dan bergabung bersama menjadi salah satu pengelola. Dalam perjalanannya menjadi pengelola, sangat banyak hal yang ia lalui khususnya menerima masukan hingga kritikan mengenai bagaimana pola pengkaderan di STID Mohammad Natsir. Diantara kritikan-kritikan yang masuk lalu ia tuturkan saat webinar berlangsung adalah bahwa STID Mohammad Natsir sepenuhnya belum sesuai dengan apa yang selama ini dilakukan oleh Mohammad Nasir.

Hal inilah yang mendorong Dr. Ujang Habibi untuk kemudian mencoba menggali dan mempelajari bagaimana sesungguhnya proses dan pemikiran serta konsep pengkaderan yang dilakukan Mohammad Natsir yang tertuang dalam Disertasinya (Karangan ilmiah untuk mencapai gelar doktor). Dengan penelitian yang ia lakukan, ia berharap dapat membuktikan apakah benar kritikan yang disampaikan tersebut sekaligus meluruskan apa yang selama ini dikatakan kurang sesuai dengan pemikiran dan proses pengkaderan Mohammad Natsir.

Sebagai pengantar, Dr. Ujang Habibi menyampaikan bahwa Mohammad Natsir merupakan tokoh besar yang Dzul Wujuh. Mohammad Natsir adalah seorang pendidik, politisi, negarawan, jurnalis, diplomat dan lain-lain. Selain itu, ia juga memiliki ide-ide besar dan sekaligus kerja nyata untuk membangun umat dan bangsa. Salah satunya adalah soal keberlangsungan hidup dan kehidupan umat dalam bingkai ajaran Islam. Untuk terwujudnya hal tersebut Mohammad Natsir memiliki perhatian yang cukup besar, yakni dengan para Da’i terjun ke lapangan dengan dimensi yang berbeda-beda. Usaha kaderisasi Da’i ini telah ia lakukan melalui pendidikan formal maupun non formal. Ia bina sedemikian rupa para aktivis kampus, masjid, dan santri – santri dari berbagai pondok pesantren agar menjadi kader-kader penerus perjuangannya.

“Kalau kita lihat pandai besi, bagaimana melahirkan senjata tajam, melahirkan golok yang tajam, itu dibakar, ditempa, digembleng terus-menerus sampai kemudian menjadi semakin tipis kemudian menjadi senjata yang sangat tajam.” Tuturnya mengibaratkan sosok seorang kader yang digambarkan Mohammad Natsir.

Kegigihan dan prestasi gemilang Mohammad Natsir sebagai salah seorang tokoh Islam nasional dan dunia Islam serta sebagai tokoh bangsa telah menginspirasi kader-kader selanjutnya. Namun, di sisi lain Dr. Ujang Habibi juga menjelaskan bahwa tidak dapat dipungkiri kader tersebut secara realitas tidak serta merta dapat sepenuhnya mewarisi secara utuh perjuangan Mohammad Natsir. Namun, diharapkan dapat melanjutkan estafet gerakan dakwah di Indonesia.

Lalu bagaimana teori kaderisasi yang dijalankan Mohammad Natsir?
Menurut pemaparan Dr. Ujang Habibi, makna kaderisasi Mohammad Natsir adalah proses mencetak pemimpin atau menggembleng dan mempersiapkan generasi penerus perjuangan yang mampu menjadi pemimpin umat dan bangsa dengan berbagai skala. Secara tidak langsung kaderisasi da’i harus mampu mencetak da’i-da’i pemimpin umat dengan membentuk karakter dan integritas diri calon kader. Mengutip idealisme konsep Mohammad Nasir, yang pertama, bahwa kader tidak bisa muncul dengan tiba-tiba. Tapi, harus diproses. Proses yang paling tepat dalam pengkaderan adalah dengan turun ke lapangan. Jadikan lapangan sebagai ruang kuliah untuk membina calon kader. Agar kader-kader bisa menemui berbagai persoalan yang nyata dan menuntut untuk segera dipecahkan. Hingga persoalan-persoalan hidup itulah pada akhirnya yang menempatkan seseorang menjadi kader baik skala besar maupun kecil.

Yang kedua, Dr. Ujang Habibi menuturkan idealisme Mohammad Natsir, bahwa setiap zaman ada rijal nya. Pemain bisa berganti. Namun, kita tidak boleh berubah mempersiapkan kader sebagai pemain di pentas sejarah perlu segera dilakukan. Namun, hal ini bukanlah pekerjaan sambilan akan tetapi harus dihadapi secara serius dengan menyediakan waktu yang memadai untuk mewujudkannya. Dengan begitu diharapkan mampu melahirkan para kader yang mempunyai penguasaan teori serta lihai dalam berkecimpung di tengah-tengah umat. Sehingga umat menganggap bahwa yang berkecimpung itu adalah anak kandungnya. Mereka para kader harus memahami denyut jantung masyarakat yang pada gilirannya mereka akan berurat di hati masyarakat.

Ada ungkapan yang begitu mendalam, bahwa kita seharusnya jangan salah memilih kader. Karena, yang dapat mencetuskan api adalah batu api bukan batu apung. Maka, di tengah-tengah dinamika masyarakat tersebut lakukanlah serah terima antar generasi yang akan pergi dengan generasi pelanjut. Patah tumbuh hilang berganti. Tidak akan pernah lahir jika sejak ini pemimpin-pemimpin terdahulu tidak menyediakan kader sebanyak-banyaknya dengan mendidik dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memegang kendali perjuangan.
Hal ini mengacu pada cita-cita Mohammad Natsir dalam mencetak kader laksana jenderal-jenderal bukan prajurit. Menurutnya kader adalah sebagai sosok pembangun bagi manusia. Tujuan kaderisasi Da’i yaitu melahirkan kader yang memiliki integritas sebagai Da’i Ilallah dengan ciri-ciri seorang Da’i harus militan dan kuat atau memiliki hujjah dan daya panggil, kuat mental dan tidak ananiah, berilmu, memiliki metode dan adab yang baik, dinamis proaktif dengan persoalan keumatan karena ia dikader untuk menjadi sosok pembangun atau visioner.

“Diantara pelajaran berharga yang saya dapat dari Pak Nasir adalah tentang pola kaderisasi yang yang beliau jalankan. Beliau tidak ceramah panjang lebar untuk seseorang tetapi, melalui penugasan kalau orang itu mampu menyelesaikan tugas dengan baik maka beliau akan memberikan tugas berikutnya. Kalau tidak mampu pada tugas yang satu maka beliau akan memberikan tugas yang lain yang disesuaikan dengan kecenderungan orang tersebut. Beliau tahu betul kelemahan saya dalam hal menulis surat karena suatu ketika saya diminta beliau untuk menulis surat yang sebenar-benarnya beliau diktekan tapi saya tidak bisa menyelesaikannya. Tapi kalau soal mengumpulkan data atau informasi saya adalah orang yang pertama beliau panggil untuk menjalankan tugas tersebut. Begitupun saya ditugaskan ke pedalaman untuk memotivasi para Da’i, memberikan pelatihan kepada calon Da’i yang selama ini dibina juga bersilaturahim dengan masyarakat setempat.”
(Tutur Kyai Haji Syuhada Basri – Ketua Umum Dewan Da’wah periode 2007 – 2015 dalam hasil wawancara yang dilakukan oleh Dr. Ujang Habibi mengenai proses kaderisasi Mohammad Natsir, Bekasi, 8 Juni 2015)

Ada 3 Media dalam program kaderisasi yang dicontohkan Mohammad Natsir, diantaranya adalah pertama, pengkaderan melalui masjid dengan menitikfokuskan pada membangun masjid dari perkotaan sampai ke pedesaan, menyelenggarakan dauroh-dauroh. Kedua, pengkaderan melalui Pesantren dengan mendukung dan memberikan bantuan ke berbagai pesantren. Ketiga, pengkaderan melalui kampus dengan membina aktivis mahasiswa melalui masjid, kampus dan mengirim para pemuda untuk kuliah ke Timur Tengah serta menggagas berdirinya kampus-kampus Islam. Sehingga dengan begitu Mohammad Natsir dapat melahirkan tiga tipe kader Da’i yaitu, Da’i yang berkiprah di lapangan atau grass root, Da’i dengan fokus keulamaan dan Da’i yang berkiprah di kancah politik dengan rekontruksi konsep filosofi kurikulum yang berprinsip Ahlussunnah Wal Jamaah dan pembinaan dengan pendekatan Bina’an wa Difa’an.
Dengan demikian, standar kompetensi output lulusan diharapkan dapat kuat dalam Aqidah dan ibadah, kuat mental dan tidak ananiah, kuat ilmu dan memiliki metode dakwah yang baik, berakhlak mulia, memiliki sifat yang dinamis, memiliki jiwa pembangun, memiliki militansi yang tinggi, mampu bermasyarakat dan dapat menjadi qudwah, mampu menjadi perekat umat, memiliki sifat zuhudi, memiliki wawasan kebangsaan Islami, memiliki wawasan sejarah, dan juga mampu menjadi seorang guru.
(Novi Indiana/Marwah)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*