Keluarga Da’wah-Indikator ImTaq Keluarga Dakwah (Bagian 6)

Oleh : Dr. Ahmad Misbahul Anam, MA (Dosen Tetap STID Mohammad Natsir)

 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ حَجَّ عَنِ الرَّمْي، فَقَالَ:إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْي فَاسْعَوْا

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian untuk berusaha, maka berusahalah.” (HR. Al-Thabrani).

“Kita hanya bisa mengusahakan, sekuatnya dan sebisanya”, pesan yang sering meluncur dari sesama juru dakwah. Melihat lapangan dakwah yang kabutnya terlalu tebal, sehingga menghalangi jarak pandang ke berbagai arah.Toh demikian, keluarga dakwah harus terus maju ke depan, tak boleh berhenti apalagi mundur. Tiang sudah dipancangkan, umat sedang menunggu bagaimana pasangan hidup menyapa mereka. Pernikahan adalah eksistensi peradaban Islam terlihat lebih nyata. Maksudnya, dari kehidupan keluarga itulah sejatinya Islam memancarkan aura aktualanya, sebagai agama dan sebagai gerakan kemanusiaan.

Ada banyak indikator untuk menguatkan posisi keluarga dakwah dalam mewujudkan iman dan taqwa (imtaq). Allahuyarham ustadz Muzayyin Abd Wahab memberikan catatannya kepada peserta kajian keluarga dai muda saat itu, dengan beberapa tambahan keterangan dari kami,

Satu, Adanya semangat yang tinggi untuk senantiasa memahami agama. Juru dakwah, walaupun sudah berkeluarga tidak boleh berhenti belajar, apakah mengambil jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi ataupun terus mengikuti kajian-kajian ke-Islaman yang ada di sekitarnya.

Bacaan Terkait : Keluarga Da’wah (Bagian 1)

Ibarat ‘teko’ yang terus dituang isinya, ia akan habis jika tidak diisi kembali. Tak usah ngotot merasa pengetahuannya telah cukup, tanpa berusaha menggali dan memburunya kembali. Seringkali banyak pasangan juru dakwah yang berhenti belajar, memang beban yang menumpuk dan kesibukan mengurus keluarga serta jamaah, bisa menjadi alasan.

Tapi ingatlah, sekali juru dakwah ya tetap akan lengket dengan ciri-ciri khasnya, yaitu menuntut ilmu. Sisihkan waktu dan kesempatan sejenak, kalo perlu mulazamah dengan guru-guru yang dianggap senior. Mungkin bukan isi pesannya yang kita perlukan karena toh bisa dibaca mandiri! Tapi bagaimana pendekatannya, memahaminya dan bagaimana mempraktekkannya yang kita belum cukup memiliki pengalaman. Di dalam sebuah hadist Rosulullah bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah pahamkan atasnya perihal agama.” (HR. Imam Al-Bukhori)
Mari kita tumbuhkan semangat terus mencari ilmu, karena dengannya banyak anak didik, santri dan jamaah juga akan termotivasi. Menjadi contoh nyata bagi kehidupan komunitas keluarga dakwah.
Kedua, Keteguhan dalam menegakkan syariat Allah

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ اَنْكَاثًاۗ

Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.” (QS. An-Nahl, 92). Tak ada kata yang tersisa, kecuali terus dilakukannya. Ada usaha untuk mewujudkan syariat sampai batas yang maksimal, tentu dengan melalui tahapan-tahapan yang terukur. Tak mengapa memulainya dari nol, mungkin tak dihitung oleh masyarakat. Jangan khawatir, karena yang dinilai bukan banyaknya, tapi sebèrapa serius kita melakukannya.

Bacaan Terkait : Keluarga Da’wah (Bagian 2)

Ketiga, Membiasakan diri bangun malam

مَنْ اسْتَيْقَظَ مِنْ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا مِنْ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

Barangsiapa yang bangun malam dan membangunkan istrinya kemudian mereka berdua melaksanakan shalat dua rakaat secara bersama, maka mereka berdua akan dicatat sebagai orang yang selalu mengingat Allah Ta’ala.” (HR. Abu Daud)

Membangun rumah tangga, berarti menyusun dan menyesuaikan banyak kepentingan. Masing-masing memiliki karakter dan sifat yang berbeda, sementara bangunan harus kokoh. Tak mengapa menyusunnya dengan pelan-pelan, karena memang perjalanannya akan jauh dilalui. Perlu kesamaan pandangan agar stabilitas tetap eksis. Untuk meraih stabilitas diperlukan pijakan yang sama ilmu dan pengalaman lapangan. Tak cuma itu, karena struktur manusia masih ada pikiran dan perasaan, keduanya juga perlu diratakan, agar frekuensi bisa mendarat dengan tepat dan cepat. Shalat malam adalah sarana meraih dan menjadi landasannya, ia ibarat ‘maqaman mahmudan’ tempat mendarat bagi pribadi dan pasangannya.

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’ : 79)

Bacaan Terkait : Keluarga Da’wah (Bagian 3)

Apalagi bagi keluarga dakwah, yang ditaklukkan tidak hanya pribadi pasangan hidupnya. Mereka juga mengharapkan perubahan jamaah binaannya, masyarakat yang ada di lapangan. Rasulullah menyapa pasangan keluarga dakwah dengan begitu indah,

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ فَإِنْ أَبَتْ رَشَّ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى رَشَّتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

“Semoga Allah memberi rahmat seorang laki-laki yang bangun malam kemudian shalat, lalu membangunkan isterinya kemudian shalat. Jika isterinya enggan ia memercikkan air di wajahnya. Dan semoga Allah memberi rahmat seorang wanita yang bangun malam kemudian shalat, lalu membangunkan suaminya kemudian shalat. Jika suaminya enggan ia memercikkan air di wajahnya.” (HR. Ibnu Majah).

Bacaan Terkait : Keluarga Da’wah – Idealisme Pasangan Da’wah (Bagian 4

Keempat, Selalu berdzikir kepada Allah swt. Berdzikir bisa dimaknai seluas-luasnya, baik berdzikir dalam artian mewiridkan kalimat-kalimat thayyibah yang diajarkan Rasulullah, ataupun berdzikir dalam arti berfikir tentang ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala.

وَذَكِّرْ فَإِنَّ ٱلذِّكْرَىٰ تَنفَعُ ٱلْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Az Dzariyat : 55)

Bacaan Terkait : Keluarga Da’wah-Tiang Pancang Keluarga Da’wah (Bagian 5)

Satu saat sang guru Allahuyarham ust Muzayyin menyebutkan bahwa, “proses dakwah itu seperti kehidupan berumah tangga”. Pernikahan adalah taqdir yang sudah ditentukan sejak zaman azali sebagai ketentuan. Nah! Peristiwa ini perlu di ingat-ingat, bahwa kehidupan berumah tangga adalah satu karya yang disengaja untuk menunjukan kekuasaan Allah kepada hambanya.

Renungkan, peristiwa itu yang amat rahasia. Dikenalkan, lalu ditumbuhkan rasa kasih sayang, tanggung jawab dan pengorbanan antar pasangan. Hubungan tersebut kemudian berubah menjadi satu kesatuan yang memancarkan uswah, contoh bagi kehidupan di luar diri mereka berdua, untuk anak-anak dan orang lain. Jadilah kemudian usrah hasanah fi dakwah, sebagai realisasi ad-da’i al-qudwah (dai sebagai contoh) dan ini relevan dengan proses dakwah itu sendiri. Bagaimana menampakkan contoh yang baik bagi kehidupan lebih luas lagi, dan dirinya bersama pasangannya adalah prototipenya.

PondokRanggon, 6/10/21
Dai Kampung Kota

Sumber Gambar : Sumatera Times

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*